Mohon tunggu...
Ivan Jayadi
Ivan Jayadi Mohon Tunggu... Swasta -

Penulis Yang Aktif Berpartai Di PSI sebagai Sekretaris DPC Sukun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Setelah Gus Dur, Cak Nur, dan Pak Hasyim Muhzadi

18 Maret 2017   13:22 Diperbarui: 19 Maret 2017   04:00 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ayat-ayat tentang perang banyak ditekankan dalam Surat At Taubah. Arti At Taubah adalah memberi kesempatan untuk berubah dan memperbaiki diri. Selain itu, dalam Surat tersebut juga diawali oleh pelanggaran perjanjian oleh orang-orang yang ingkar dan memusuhi Umat Muslim. Dalam Surat-surat yang lain Disebutkan, perangi orang-orang yang memerangi dan senantiasa bersikaplah adil dan jangan berlebih-lebihan, karena berlebihan perbuatan setan. 

Lalu Nabi Muhammad sendiri beserta para pengikut Allah yang lain, sesungguhnya tak pernah mau berperang sampai turun ayat, diwajibkan atas kamu berperang melawan penindasan dan orang-orang yang mengusir Umat Muslim dari daerahnya dan menjarah harta bendanya, apalagi sampai membunuh sanak keluarganya dengan alasan yang tak bisa dibenarkan. Kemudian, saat terjadi perjanjian damai, haram hukumnya bagi Umat Muslim mencari gara-gara, apalagi sampai melanggar perjanjian. Di masa damai, bagi Umat Muslim merupakan kesempatan yang sebaik-baiknya untuk banyak-banyak beribadah secara tenang dan kesempatan untuk semakin menggali Ilmu dan HikmahNya sedalam-dalamnya. Selanjutnya, di masa kemenangan, yaitu saat fattul Makkah atau penaklukan Kota Makkah, karena orang-orang yang memusuhi Umat Muslim telah melanggar perjanjian dulu, Umat Muslim tetap memberi pengampunan dan memberi mereka hidup dan kebebasan untuk tetap memeluk agamanya, dengan syarat mau membayar jizyah sebagai ganti zakat yang merupakan kewajiban bagi Umat Muslim yang mampu.

Seperti itu yang ditunjukkan oleh sejarah Umat Muslim di jaman Nabi Dan Kulafaurrasidin. Namun semua itu dipelintir oleh orang-orang yang tak menyukai Umat Muslim dan orang-orang yang sengaja menjadikan Agama Muslim sebagai alat meraup kekuasaan, harta benda, dan kekaguman orang-orang. Kata yang sering digunakan untuk memelintir ayat-ayat Allah demi meraup semua keuntungan berdasarkan hawa nafsu itu adalah istilah jihad. 

Jihad itu sendiri artinya berjuang dan berusaha. Jihad fi sabilillah (berjihad di islam Allah) adalah berjuang dan berusaha menegakkan kebaikan, kebenaran, dan keadilan, menjauhi keburukan dan kejahatan. Jihad bukan berperang, karena berperang ada istilahnya sendiri, yaitu Qotel. Tapi istilah jihad itu sudah terlanjur disalahpahami, sehingga dikenal istilah mujahidin sebagai tukang perang Umat Muslim. Padahal kalau menurut tata bahasa Arab, tukang perang disebut Muqotl.

Dalam konsep negara demokrasi, berdasarkan paparan sejarah dan dasar Al Quran tersebut, sesungguhnya Umat Muslim sangat menghargai keberagaman dan kemerdekaan tiap individu dalam menentukan pilihannya. Bagi Umat Muslim diajarkan bahwa perbedaan dan keberagaman merupakan rahmat (berkah). Lalu setiap orang juga diberi kebebasan untuk memeluk atau tidak memeluk agama Muslim, tetapi kalau sudah memeluk terapkan dengan sungguh-sungguh segala Petunjuk dan Ajaran Allah di Al Quran. Lalu kalau soal kepemimpinan, dalam agama Muslim tak diajarkan kepemimpinan turun-temurun, pemimpin dipilih atas dasar kesepakatan bersama.

Dengan memperhatikan itu, rasanya sudah bisa ditangkap bahwa antara agama Muslim dan demokrasi tidak ada pertentangan, malah sejalan. Bagi Umat Muslim, pilihan menjadi penduduk negara demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan satu perjanjian yang dilakukan bersama umat agama yang lain. Sebagai satu perjanjian, haram hukumnya bagi Umat Muslim cari gara-gara dan melanggar perjanjian. Mereka yang cari gara-gara dan mulai menyulut pelanggaran, bukanlah Umat Muslim, karena AjaranNya dan teladan RasulNya telah sangat jelas. Barangsiapa tidak menaati Allah dan RasulNya, maka bukan orang beriman, bukan pula bagian dari Umat Muslim.

Bagi Umat Muslim, dalam kerangka Negara Demokrasi, setiap Muslim harus selalu menjaga kerukunan, kedamaian, dan toleransi dengan orang yang berbeda-beda paham, agama, ras, suku, dll. Dengan musuhnya sekalipun, Umat Muslim harus selalu damai dan tak menyulut gara-gara. Kalau ada yang memulai menyulut gara-gara dan pelanggaran atas perjanjian itu, maka si penyulut itulah yang harus dihukum. Dalam sejarah Indonesia, telah ada Kahar Muzakar, Karto Suwiryo, Andi Aziz, sampai Imam Samudera, dan lain-lain yang melakukan itu, maka Umat Muslim harus berperan aktif untuk mengadili dan menghukum mereka dengan ganjaran yang setimpal. Umat Muslim tidak boleh ragu untuk menghukum si pelanggar hukum, meskipun itu saudara dan keluarganya sendiri, demi kemaslahatan orang banyak. Sebaliknya, Umat Muslim juga tak boleh ragu membela orang yang benar, meskipun dia orang beragama lain seperti yang dilakukan Umar bin Khotob saat membela seorang Yahudi yang diperlakukan tidak adil oleh Amr bin Ash, seorang pemuka Umat Muslim, pahlawan besar, dan Gubernur Mesir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun