Mohon tunggu...
ivan hanafi
ivan hanafi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuan dan Hamba: Kajian Filosofis Nietzche

18 April 2016   15:15 Diperbarui: 23 Mei 2016   21:03 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang Filsuf Jerman yang mewarnai kehidupannya dengan perenungan dalam dan mengembara. Semasa hidupnya ia tidak pernah dapat merasakan yang namanya kenikmatan hidup. Seluruh hidupnya selalu goncang dengan badan yang selalu sakit dan diusir dari jajaran doktor dan Profesor Filologi Yunani Klasik. Orang itu bernama Nietzche. Dalam pengebaraannya ia menulis banyak buku yang kemudian ia mendefinisikan manusia sebagai makhluk yg lemah yang butuh dengan yang namanya Tuhan.

 Dan ini saya rasa sangat relevan dengan ilmu dan agama manapun. Termasuk dalam otak kita juga terdapat saraf yang mengontrol hubungan kita dengan sesuatu diluar diri yang memiliki kekuatan tertinggi atau dapat disebut Tuhan. Selain itu Carol Gustav Jung seorang Psikolog murid dari Sigmund Freud juga menyampaikan teorinya tentang kebutuhan manusia diparuh hidup yang kedua untuk selalu menghubungkan diri dengan yang Maha Tinggi. 

Dan apabila diparuh hidup yang kedua ini manusia kehilangan kepercayaannya akan Tuhan akan goncang kejiwaannya. Ini saya rasa sangat relevan dengan islam karena masa kematangan manusia terdapat pada umur 40 tahun dengan tanda Rasulullah diangkat menjadi Rasul pada umur tepat ke 40 tahun. Saya rasa sangat relevan meskipun menurut C. Gustav Jung usia kematangan pada umur ke 36 tahun.

Dengan kebutuhan manusia yang selalu percaya dengan Tuhan maka ada yang namanya pengabdian penyembahan dan bentuk ritual keagamaan. Sebagaimana al-Qur'an menjelaskan "wa maa kholaqtul jinna wa insaa illa liya'budun" bahwa hidup manusia tidak lain hanya untuk menyembah Allah swt. Nah, Nietzche mengelompokkan manusia sebagai hamba Tuhan dalam 3 kategori. Yaitu budak/ hamba, Tuan dan uberment. Yang kemudian dianalogikan sebagai unta, harimau dan bayi.

Unta adalah gambaran budak yang menjalankan keagamaannya dengan penuh. Jadi semakin detail perintah Tuhannya semakin dia suka dan semakin puas dengan semua rincian perintah Tuhannya. Sebagaimana ini orang-orang Israil dalam surat al-Baqoroh yang menanyakam dengan detail apa yang harus disembelih. Perempuan atau laki-laki ?. Tua atau muda ?. Warnanya apa ?. Meskipun perintah itu akan menyulitkan dirinya untuk melaksanakannya.

Nah, yang kedua adalah harimau. Harimau adalah hewan yang selalu menyalak menolak apa saja yang disulurkan kepadanya. Jadi orang yang menolak semua perintah Tuhannya. Saya rasa ini adalah orang-orang yang mengaku beragama tetapi tidak mau menjalankan peribadatannya dengan baik. Sebagaimana kaum-kaum terdahulu seperti Kaum Tsamud, Kaum 'Aad, dan kaumnya Nabi Musa As. dalam al Qu’ran kaum Bani Israil yang setelah menyeberangi Laut Merah dan lari dari Firaun kemudian mereka tidak punya tempat tinggal. Dan pada waktu itu Bani Israil diperintah untuk menakhlukan suatu kaum yang memiliki rumah dari gunung yang dipahat. Tetapi Bani Israil menolaknya dan mendiami padang pasir hingga adzab Allah menimpa mereka setelah itu.

Yang ketiga adalah dianalogikan dengan bayi. Yaitu orang dalam kehidupannya tidak memperdulikan antara baik dan jahat. Kafir dan beriman. Semua kehidupannya diwarnai dengan kesengan sesaat. Jadi bayi itu kan jika bermain mainan tetapi kemudian meninggalkan maimannya itu bukan berarti ia benci dengan maiman itu tapi karena ingin sesuatu yang baru dan jika bosan akam kembali lagi ke mainannya yang tadi. Tipologi yang ketiga ini saya rasa adalah tipologi orang-orang diluar islam yang seluruh hidupnya diwarnai dengan keduniawian, kesenangan dan kepuasaan sesaat.

Sekiranya kita sebagai umat islam layaknya menjadi hamba yang menghambakan diri sepenuh jiwa dan raga untuk menjalankan aktifitas keagamaannya. Sholat tidak hanya sholat tetapi diusahakam dengan berjamaah. Shodaqoh tidak hanya shodaqoh tetapi dengan niat untuk membantu meringankan kesulitan saudara kita. Dzikir tidak hanya dzikir tetapi hati dan lisan secara kongruen menyebut namaNya.

Demikian. Wallahu a’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun