Mohon tunggu...
Yunus SeptifanHarefa
Yunus SeptifanHarefa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku Indah Tapi Tak Mudah

Berkarya untuk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Jakarta "Merdeka" Masih Terjajah

4 Agustus 2018   15:00 Diperbarui: 4 Agustus 2018   15:08 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dijajah di negeri sendiri/dokpri

Beberapa minggu lagi, kami pemuda dan remaja gereja ingin merayakan hari ulang tahun RI yang ke-73. Kali ini, tema yang kami bahas tentang "beriman di tengah kemajemukan". Topik ini sengaja kami angkat sebagai ajakan kepada pemuda-pemudi gereja agar mengingat bahwa dirinya ada di antara keberagaman Indonesia. Lalu, di dalam kondisi seperti ini, bagaimana agar anak Tuhan bisa tetap menghidupkan imannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka melalui ibadah HUT RI inilah, nilai kasih dan toleransi diajarkan dan ditebarkan. 2 kata ini menjadi kunci agar kita bisa beriman di tengah kemajemukan.  

Untuk mencapai tujuan tersebut, kami mempersiapkan berbagai acara yang menarik, dan untuk membuat suasana agak berbeda, maka kami mengadakannya di luar gereja. Kebetulan di dekat gereja kami ada satu taman yang menjadi fasilitas umum di kota Jakarta, yaitu Taman Hutan Kota Penjaringan. Menurut saya pribadi, taman ini cukup luas dan sejuk, setidaknya lokasinya yang berada di tengah kota, memberi sedikit hiburan kepada warga Jakarta yang penat dengan kemacetan. Selain dekat, biaya yang dikeluarkan pasti jauh lebih murah. Karena itu, kami sepakat menggunakan Taman Hutan Kota Penjaringan sebagai tempat untuk merayakan ulang tahun Republik Indonesia yang ke-73.

Agar bisa mempersiapkan acara dengan baik, kami langsung mengunjungi lokasi taman dan menanyakan prosedur peminjaman fasilitas umum tersebut, untuk 3 jam saja. Petugas di taman tersebut menyarankan kepada kami agar langsung mengurus surat permohonan ke kelurahan, karena memang begitulah prosedurnya. Kata beliau , "prosesnya pasti cepat,  3 hari juga udah selesai" . Dengan senang hati kami mengikuti semua prosedur tersebut. Kami membuat surat permohonan dan mengajukannya ke kantor kelurahan.

Setelah semua lengkap, pegawai kelurahan mengatakan, "kalau sudah selesai, nanti kami hubungi lagi". Seminggu berlalu, dan belum ada kabar dari kelurahan. Akhirnya kami memutuskan untuk mendatangi kantor kelurahan lagi, menanyakan perihal surat permohonan yang sudah kami ajukan. Dengan muka sinis, pegawai kelurahan mengatakan, "kan sudah dibilang, nanti kami hubungi lagi". Ohh.. baiklah kalau memang harus menunggu. Memang harus belajar sabar hehehe.

Seminggu setelah itu,  saya ditelepon oleh pegawai kelurahan. Beliau mengatakan bahwa surat  bisa diambil di kantor kelurahan. Sebelumnya, ia meminta saya untuk membaca beberapa aturan yang harus dipatuhi saat meminjam fasilitas umum.  Setelah membaca beberapa aturan sebagai peminjam, lalu saya bertanya, "apalagi syarat yang harus  kami penuhi?"

Pegawai tersebut mengajak saya ke meja konsultasi. Ia memperlihatkan kepada saya aturan yang tercantum di layar komputer bahwa ada biaya yang harus dikeluarkan untuk meminjam fasilitas umum tersebut. "Ya, tidak masalah" kataku, toh ini juga untuk biaya pemeliharaan fasilitas umum.  Lalu saya bertanya, "berapa mbak?" , kebetulan pegawai tersebut seorang perempuan. Lalu ia membuat saya kaget ketika ia menyebut angka Rp 2.000.000.

Apa? Dengan menaikkan volume suara, saya kembali bertanya "Ini Cuma 3 jam doang loh mbak", "Bagaimana mungkin harganya bisa semahal itu?"  Dengan santai pegawai tersebut menjawab saya dan berkata, "ini aturan baru dari pemprov DKI pak. Sekarang pemakaian fasilitas umum itu harus per lima hari. Tidak ada pilihan per hari. Jadi, memang kalau mau pakai, ya harus 5 hari. Jadi, angka 2 juta itu untuk lima hari." Jelasnya pada saya. "Tapi saya cuma pakai 3 jam saja mbak. Kenapa saya harus bayar 5 hari?"

Melihat saya tidak bisa menerima, pegawai itu memberi usulan,  "agar bapak tidak rugi, lebih baik acaranya dibuat 5 hari saja". Wah, ini bukan solusi menurut saya. Logikanya, saya cuma butuh 1 botol minuman, tetapi saya disuruh harus membayar seharga 1 kardus minuman. Aneh=aneh saja aturannya. 

Karena tidak puas dengan kebijakan tersebut, saya coba berkonsultasi dengan RT di wilayah saya. Kebetulan saya kenal dengan beliau. Syukurnya, beliau mau menemani saya untuk ke kantor kelurahan lagi, mempertanyakan kebijakan yang tidak bijak seperti itu.  Saat sampai di sana, mereka kembali berkata, "kan sudah dijelaskan tadi, ini aturan dari pemrov DKI". "Aturan macam apa ini?" , kataku dalam hati. 

Saya  mencoba bernegosiasi dengan pegawainya, apakah pemakaian 3 jam itu bisa kena biaya sehari saja? Tetapi jawabannya tetap sama. Ini aturan pemprov DKI. Pakai 3 jam, bayar untuk  5 hari.  Wah, dalam hati aku berkata hebat juga aturan di ibu kota ini.  Apa bedanya dengan pemaksaan dan pemerasan? Dalam hati saya bertanya, di mana yang namanya merdeka? Mengapa untuk merayakan kemerdekaan di ibukota ini harus dihalangi oleh aturan-aturan yang menjajah seperti ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun