Mohon tunggu...
Ivan Firdaus
Ivan Firdaus Mohon Tunggu... lainnya -

tinggal di Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan Kolo Bawah

21 Desember 2010   06:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:32 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_78420" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan-jalan sore bersama anak dengan bersampan keliling desa (foto : Ivan Firdaus)"][/caption] Perempuan pesisir, di banyak lokasi di bumi nusantara ini masih betul-betul terpinggirkan.Terpinggirkan karena mereka menetap dan menyambung hidup di wilayah pesisir, dan terpinggirkan karena mereka adalah perempuan.Perempuan yang sehari-hari bekerja mengurus rumah, melayani suami dan mengasuh anak-anaknya.Perempuan yang bekerja mencari nafkah untuk keluarga di sela-sela kesibukannya, sebagai nelayan pencari hasil laut, pengolah pasca tangkap dan penjaja hasil tangkapan ikan suami.Serta perempuan yang keluar-masuk hutan mencari rotan, sagu dan kayu bakar.Mereka adalah perempuan Kolo Bawah, perempuan desa yang dominan dihuni oleh suku Bajo (Sama) di pesisir pantai Teluk Tolo, Kabupaten Morowali.

[caption id="attachment_78423" align="alignleft" width="270" caption="Desa Terapung Kolo Bawah, Para Perempuan dan Jalan Setapak di Atas Air (foto : Ivan Firdaus)"]

1292508725450540738
1292508725450540738
[/caption] Perempuan Kolo Bawah, adalah perempuan yang cepat menikah sesaat setelah masa akil baliq, perempuan dengan kulit legam disengat cahaya mentari, perempuan yang kentara urat dan lengannya karena bekerja keras saat masa paruh baya.Perempuan Bajo desa Kolo Bawah, adalah perempuan yang relatif cantik seperti kebanyakan perempuan di manapun, yang cepat pudar kecantikannya oleh guratan waktu, sapuan air garam dan angin laut, serta tarikan otot mengayuh lengan-lengan dengan punggung berpeluh.

Anak-anak yang lahir dari rahim-rahim mereka, tumbuh sehat dengan jumlah yang meningkat pesat sepanjang tahun.Yang keluarga mereka pahami, anak-anak adalah anugerah dan rejeki.Pendidikan dan kesehatan anak adalah urusan Tuhan dan “nanti.”Setelah anak-anak mereka beranjak dewasa, maka perkawinan dan laut adalah masa depan yang paling menjanjikan.Tanpa sadar akan kualitas lingkungan laut yang kian merosot dari waktu ke waktu, dirusak oleh pendatang dari luar serta oleh tangan-tangan mereka sendiri yang semakin banyak, semakin lapar.

[caption id="attachment_78421" align="alignright" width="270" caption="Anak Bajo Kolo Bawah (foto : Ivan Firdaus)"]

1292508568545910109
1292508568545910109
[/caption]

“ Penduduk desa ini berjumlah sekitar 300 Kepala Keluarga, hampir 200 KK adalah tergolong miskin dengan penghasilan rendah.Mungkin hampir 100 orang perempuan desa ini berstatus janda, tua dan muda.Yang muda ditinggal oleh suami yang pergi merantau untuk mencari kerja dan tak pernah kembali lagi atau bercerai.Perempuan tua di tinggal mati oleh suami yang entah mengapa rata-rata lebih dulu mati, ” terang Pak Ade,sekertaris desa Kolo Bawah.

Di saat peralihan musim Timur ke musim Barat, hingga sepanjang musim Barat tiba, ombak dan angin di pesisir desa ini relatif tenang dan bersahabat.Para ibu dengan berkelompok-kelompok pergi mencari ikan, gurita dan kerang-kerangan.Mereka mendayung sampan, menggunakan layar, memancing dan menyelam seperti layaknya para lelaki desa itu.Kawasan terumbu karang pesisir dan taka serta gosong karang menjadi lokasi penangkapan para perempuan desa ini.Mereka keluar di saat subuh, dan pulang ke rumah di siang atau sore hari.Para lelaki dan anak-anak juga turut beserta mereka, menjadi keluarga nelayan “tulen.”Anak-anak balita mereka di tinggal di rumah bersama para orang tua dan keluarga lainnya.Sedangkan para pemuda desa itu kini lebih banyak memilih menjadi tukang batu, tukang ojek, tukang kayu, merantau mencari kerja ke daerah lain, atau lebih banyak menganggur.

Di sela-sela waktu mencari hasil laut, perempuan desa ini mencari dan mengolah sagu untuk di jadikan Sinole (serbuk sagu kering) sebagai makanan pokok diselingi Kalaka (singkong kering) yang di kukus, dengan makan nasi sebagai selingan.Dengan berkelompok-kelompok, mereka merambah bukit-bukit dan hutan di sekitar desa untuk mencari rotan dan kayu bakar.Akar-akar rotan mereka gunakan untuk membuat keranjang dan alat pengikat.Para perempuan dan hampir seluruh penduduk desa ini sadar bahwa menjaga hutan sekitar desa dapat menjaga kampung pesisir ini dari bencana banjir dan tanah longsor.Dari pengalaman desa tetangga yang tertimbun tanah longsor tahun lalu, serta bencana yang sama menimpa desa Bunta di bulan Oktober lalu akibat hutan mereka yang telah di “sulap” menjadi kebun Kelapa Sawit.

[caption id="attachment_78425" align="alignright" width="270" caption="Gadis Bajo Kolo Bawah (foto : Ivan Firdaus)"]

1292509399149319466
1292509399149319466
[/caption]

Meski secara sepihak terlihat kehidupan mereka begitu keras, tetapi para ibu desa ini bersyukur karena mereka masih dimanjakan oleh alam, beberapa jenis kebutuhan untuk hidup masih tersedia meski harus peras keringat menegangkan otot.Kinipun desa ini telah punya sebuah Sekolah Dasar dan sebuah SLTP, hingga anak-anak mereka, perempuan dan laki-laki dapat bersekolah di dalam desa sendiri.Meski untuk melanjutkan sekolah bagi anak-anak mereka ke tingkat SLTA, masih harus berfikir berkali-kali dikarenakan biaya serta tuntutan membantu keluarga untuk mencari nafkah. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun