Mohon tunggu...
Muhammad Ivan
Muhammad Ivan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS di Kemenko PMK

Sebagai abdi negara, menulis menjadi aktivitas yang membantu saya menajamkan analisa kebijakan publik. Saya bukan penulis, saya hanya berusaha menyebarkan perspektif saya tentang sesuatu hal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebuah Catatan tentang Remaja, Seksualitas, dan Teknologi Digital

25 Juli 2016   09:49 Diperbarui: 25 Juli 2016   10:00 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tamasya bersama anak sangat penting membangun kebersamaan

Remaja di setiap zaman memerlukan pendekatan yang berbeda, begitupula dengan remaja zaman sekarang yang sangat akrab dengan teknologi digital. Perkembangan teknologi yang sangat massif telah mengubah cara komunikasi menjadi lebih intens dalam ruang maya. Begitu pula dengan sikap dan cara pandang kaum remaja terhadap seksualitas dan soal seks dinilai lebih terbuka (liberal) dengan terbukanya peluang mengembangkan hubungan dengan lawan jenis, berpacaran, sampai berhubungan seks layaknya orang yang sudah menikah. Di Barat, punya anak baru menikah adalah hal biasa, namun di Indonesia, gaya atau budaya seperti itu dinilai memalukan atau aib yang mencemarkan nama baik keluarga.  Namun ironis, angka aborsi di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta pertahun. Sekitar 750.000 diantaranya dilakukan oleh remaja. (Medical-Journal, Soetjiningsih, 2004).

Dalam skala global, World Health Organization (WHO) memperkirakan ada 20 juta kejadian aborsi tidak aman (unsafe abortion) di dunia, 9,5 % (19 dari 20 juta tindakan aborsi tidak aman) diantaranya terjadi di negara berkembang. Sekitar 13 % dari total perempuan yang melakukan aborsi tidak aman berakhir dengan kematian. Resiko kematian akibat aborsi yang tidak aman di wilayah Asia diperkirakan 1 berbanding 3700 dibanding dengan aborsi. Diwilayah Asia Tenggara, WHO memperkirakan 4,2 juta aborsi dilakukan setiap tahun, dan sekitar 750.000 sampai 1,5 juta terjadi di Indonesia, dimana 2.500 di antaranya berakhir dengan kematian.

Orangtua memang membutuhkan gaya dan pendekatan yang berbeda. Apa yang kurang dari kehidupan keluarga saat ini adalah perhatian. Perhatian terhadap anak hanya dimaknakan sekadar memberi asupan makanan, uang jajan, dan fasilitas. Sementara makna seperti terlibat dalam dunia anak, ikut memerankan apa yang diimajinasikan anak, dan cenderung cepat menyimpulkan (tidak mendengar secara antusias) apa yang anak ceritakan tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan.

Tidak mudah menjadi anak di era digital yang tengah bergeliat ini. Begitu banyak informasi meluap, mampu mengubah perspektif anak terhadap kebenaran. Terpaan media yang massif dapat mengubah yang hitam menjadi putih, begitupun sebaliknya. Disinilah anak membutuhkan bekal (tata nilai) yang perlu diketahui ketika mereka berhadapan dengan dua buah konsekuensi dari kehadiran media baru tersebut, yakni keleluasaan dan interaktiviti.

Kelulasaan membebaskan orang untuk berpendapat dan memproduksi informasi atau berita, sementara interaktiviti memberikan otonomi kepada orang untuk mencari sumber informasi dan berinteraksi dengan siapa saja. Di satu sisi, berpikir kritis mutlak diperlukan seorang anak agar tidak mudah terhasut oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di sisi lain, banyak anak yang lebih menutup diri daripada yang membuka diri terhadap realitas yang tengah berlangsung dan berdampak padanya.

Sangat jarang, anak tumbuh dalam iklim demokrasi di dalam keluarga dapat dengan mudah beradaptasi dengan situasi yang berbeda. Namun anak yang hidup dalam suasana ketakutan dan kesepian akan lebih sulit untuk terbuka terhadap dunia luar, apalagi ke orang tuanya. Mungkin lebih banyak realitas lainnya, seperti ibu single yang bekerja sehingga harus menitipkan anak ke daycare atau saudara, anak yang tidak mendapatkan kasih sayang secara utuh dari kedua orang tuanya, sikap permisif orang tua terhadap dunia anak, tidak adanya kebiasaan makan malam karena dua orangtua yang sibuk bekerja, dan terpaan media ke orangtua juga berdampak pada minusnya keterlibatan orangtua pada aktivitas anak.

Demoralisasi remaja terjadi lebih dikarenakan ketidakmampuan memahami dunia mereka. Selain kebijakan pemerintah, institusi pendidikan, orangtua, masyarakat, swasta, dan media turut bertanggung jawab dengan memberikan pendekatan yang berbeda dalam berkomunikasi dengan remaja zaman millennial.  Untuk itu, ada beberapa langkah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, yakni:

Pertama, pelibatan remaja mutlak diperlukan dalam tiap keputusan yang berpengaruh langsung kepada mereka secara signifikan. Suara mereka harus didengar. Sejak sekolah dasar, pemahaman mereka untuk bersikap asertif harus dimulai (jujur mengutarakan pendapatnya). Dengan begitu, kemampuan komunikasi antara guru atau orangtua terhadap anak harus ditopang dengan satu nilai yang sama, yakni kejujuran. Dalam praktiknya, masalah kesehatan reproduksi tidak secara vulgar diungkapkan, namun dengan kiasan atau bahasa yang lebih ringan sehingga dapat diterima secara baik oleh anak. Anggapan tentang sekolah selama ini hanyalah soal prestasi, padahal jauh dari itu, sekolah adalah penyebar nilai moralitas yang sangat vital perannya dalam membentuk watak dan konsep diri anak.  Sekolah, jangan sampai menjadi polisi moral, ketika mereka bicara tentang kejujuran, seperti masalah seksualitas yang mereka dengar dari orang dewasa atau internet. Disinilah sekolah tidak boleh vakum terhadap hingar bingar dunia seksualitas yang sudah mereka tahu, namun tanpa mereka sadari, mereka memperoleh informasi mentah yang belum diracik dengan baik, sehingga berdampak pada kehidupan/sosialita yang kebablasan. Prinsip “don’t ask, don’t tell” tentang seks sudah saatnya diubah, disinilah perlu kreativitas dari pengambil kebijakan dan orangtua untuk mengenalkan seks dengan cara yang sudah saya sebutkan sebelumnya.

Kedua, tidak cukup undang-undang, dalam praksisnya, kerjasama dan kolaborasi pemerintah, institusi pendidikan,  masyarakat,  swasta, dan media harus cukup kuat untuk mengelaborasi peran agar tujuan menurunkan angka aborsi, pernikahan dini, seks bebas, penderita HIV/AIDS, dan bentuk deviasi lainnya yang akan menurunkan kualitas generasi mendatang. Salah satunya, pemerintah perlu bekerjasama dengan institusi seperti pusat konseling yang selama ini sudah berdiri, namun belum maksimal perannya, seperti memperbanyak dan merevitalisasi pusat konseling remaja di tengah masyarakat. Permasalahan remaja yang kian kompleks, membutuhkan tenaga psikolog/konselor untuk menjadi “teman curhat” remaja yang memiliki masalah dengan apapun, pacar, orangtua, kelompok, dan lain sebagainya. 

Kalau tidak memperbanyak, minimal merevitalisasi yang sudah ada. Sebagaimana yang saya ketahui, pusat konseling sebagaimana di sekolah, seolah-olah remaja yang mendatangi adalah remaja bermasalah. Inilah yang menyebabkan pusat konseling tidak laku. Dengan merevitalisasi, pusat konseling tersebut dapat bermutasi dengan menangani pertanyaan-pertanyaan di dunia maya, misalkan membuat akun media sosial berbayar (iklan) sehingga dapat terselip di antara media sosial remaja seperti facebook, twitter, instagram, dan lainnya.

Ketiga, selama ini masjid atau gereja dan rumah ibadah lainnya hanya dominan mengadakan kegiatan keagamaan yang ritual sifatnya. Padahal begitu banyak permasalahan remaja yang salah satunya dapat diselesaikan di dalam tempat ibadah tersebut. Rumah ibadah harus berperan lebih dari sekadar ritual, yakni dengan mengadakan diskusi, tempat membaca yang nyaman dengan adanya perpustakaan, dan mengadakan pelbagai kegiatan positif yang melibatkan lebih banyak remaja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun