Mungkin, maksudnya rejected, ‘ditolak’. Tak lolos dalam proses pengujian mutu. Tapi dalam penggunaan sehari-hari, kata itu lebih sering dimaknai ‘barang rusak’. Nah, adakah murid ‘rusak’? Tentu saja ada. Setidaknya itulah yang diungkapkan seorang kepala sekolah dalam sebuah pertemuan. Peristiwa itu diceritakan teman, yang menjadi pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Suatu hari teman saya itu mengunjungi dan memantau sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Padang. Kepadanya ditunjukkan berbagai fasilitas sekolah,data guru-guru dan tentu saja data siswa beserta nilai dan minat mereka. Pada pertemuan siang harinya, kepala sekolah mengeluhkan ‘nasib malang” sekolah mereka.
“Beginilah keadaan sekolah kami. Tak banyak yang bisa kami lakukan sebagai guru, karena sekolah ini hanya menampung murid-murid ‘rijek’”, ujar kepala sekolah.
“Maksud Bapak?”, tanya teman saya dengan heran.
“Yaaah,maksud saya, kami harus menampung murid yang tak diterima di sekolah lain. Mungkin karena nakal, malas,bodoh, atau gabuangan dari semuanya...”.
“Murid di sini rata-rata pemalas dan nakal-nakal. Susah kita..”, ujar seorang guru wanita.
“Betul, Pak. Berpakaian saja mereka tak mau rapi. Apalagi berpikir...”, kata guru yang lain.
“Kemaren saya membimbing mereka praktek memasak. Tak ada yang beres rasa masakannya. Sayur yang keasinanlah. Sambal yang gosong....”
“Benar sekali... minggu lalu saya membimbing praktek memasak roti, rotinya pada bantat semua. Dan kuenya tak ada yang karuan bentuknya...”. Tanpa direncanakan, pertemuan itu beralih menjadiajang menumpahkan keluh kesah.Guru mengadukan kesulitan mendidik disebabkan kekurangan murid-muridnya.
Setelah sesi keluh kesah itu, maka giliran teman itu bertanya.
“Kalau begitu, apa yang bapak dan ibu guru harapkan dari murid-murid di sekolah ini?”