Mohon tunggu...
ivan adilla
ivan adilla Mohon Tunggu... Guru - Berbagi pandangan dan kesenangan.

Penulis yang menyenangi fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Logika Dukun Kampung

22 April 2021   03:35 Diperbarui: 22 April 2021   03:40 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Seorang pemancing di tepi Danau Singkarak, yang menjadi sumber kehidupan bagi banyak nelayan di sekelilingnya. Foto oleh Ivan Adilla

Sejak memutuskan menjadi petani dan mengurus tanah kaum, Engku Datuk tinggal di sebuah pondok di dekat sawah. Dulu beliau sekolah di sebuah madrasah di Padangpanjang. Pada masa pergolakan, beliau ikut mendukung PRRI dan bergerilya di wilayah hutan sekitar Solok. Aku tak tahu, bagaimana beliau memiliki kepandaian mengobati orang sehingga dikenal sebagai dukun obat di kampung kami. Setahuku, tak ada anggota kaum kami yang memiliki kepandaian seperti itu sebelumnya. Bisa jadi, kepandaian itu diperolehnya melalui orang lain yang dijumpainya selama bergerilya di masa bergolak. Entahlah.

Sebutan 'dukun' bisa jadi kurang tepat untuk Engku Datuk. Tampangnya tak seperti dukun-dukun dalam film-film horor; berambut gondrong dengan kumis panjang, berwajah culas-sangar, dengan akar bahar di lengan dan batu akik di jari. Engku Datuk itu orangnya biasa sekali. Rambutnya dipotong rapi. Wajahnya klimis. Tanpa kumis atau jenggot. Tak ada gelang di lengannya. Jarinya juga tanpa batu akik.

Dalam bahasa sastra lama ada istilah 'dukun pandai obat'. Tapi masyarakat kampung kami tak menggunakan istilah itu. Tidak juga istilah 'orang pintar', karena tak ada yang ingin disebut 'orang bodoh'. Jadi aku sebut sajalah Engku Datuk itu dukun kampung. Engku Datuk toh tak mungkin marah. Beliau sudah lama meninggal. Lagi pula, beliau jarang sekali marah. Apalagi untuk hal tak perlu seperti ini.

Pondok di tepi sawah, yang ditempati Engku Datuk, menjadi tempat favoritku kalau pulang kampung. Sawah dengan padi berdaun subur yang menghampar layaknya permadani hingga pinggang ke bukit. Bangau yang terbang merendah, mendarat dan bermain untuk mencari makan. Dendang para wanita penyiang padi yang bersahutan. Tentu juga seduhan kopi panas kental yang selalu tersedia. Mengisi libur di tempat itu sambil mendengarkan tuturan para pasien menjadi pelepas penat yang menyenangkan.  

Macam-macam saja penyakit yang diadukan orang. Sejak dari kerasukan dan disapa makhluk halus, terkena biring, pertengkaran rumah tangga, atau termakan racun. Kadang ada juga yang mengaku kehilangan sapi, hingga usaha rumah makan yang tiba-tiba jadi sepi. Maklumlah, berobat cara kampung! Air putih hampir selalu menjadi obat pertama yang disarankan untuk penyakit aneka ragam. Itu sebabnya banyak pasien yang datang sambil membawa air mineral.

Sebagai orang yang menjalani pendidikan di sekolah, sungguh tak masuk akal bagiku bahwa air putih bisa mengobati aneka penyakit. Maka aku sering usil mencemooh cara pengobatan itu. "Kalau begini caranya, bisa-bisa penjual air lebih laku daripada dokter", kataku.

Ada tiga bulan lamanya, kira-kira, aku mencemooh tak karuan saja cara pengobatan itu. Berbagai saja cemoohan yang kulontarkan. Eh, bukannya marah, Engku Datuk hanya menjawab cemoohku dengan senyum atau sikap diam. Tak ada isyarat marah. Sikap itu membuat aku jadi tambah penasaran. Suatu kali, saat tak ada pasien dan Engku Datuk sedang duduk santai di sebuah bangku bambu, aku datangi beliau. Aku tanya kenapa dia diam saja dan tak marah aku mencemooh. Meski kadang aku mencemooh dengan sikap yang keterlaluan. 

"Untuk apa Engku harus marah? Tak ada gunanya. Malah bikin rugi.."jawab Engku Datuk.

"Rugi kenapa?", tanyaku lagi.

"Yang pantas dimarahi itu orang yang mengerti, tapi lalai. Sedangkan kamu ndak mengerti. Jadi percuma saja dimarahi.."

"Ndak mengerti tentang apa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun