Mohon tunggu...
ivan adilla
ivan adilla Mohon Tunggu... Guru - Berbagi pandangan dan kesenangan.

Penulis yang menyenangi fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Siri, Orang Gila Sahabatku

21 April 2021   01:30 Diperbarui: 21 April 2021   02:09 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Danau kecil di tengah Kampus Hankuk University for Foreign Studies (HUFS), di Mohyeon-Myeon, Yongin-shi, Korea Selatan. Foto oleh Ivan Adilla 

Sahabatku ini berambut lurus, dengan hidung agak lebar dan bibir yang tebal. Tingginya sedang, namun tubuhnya terlihat agak pendek karena badannya yang gempal. Kalau berjalan ia lebih sering menunduk atau memandang lurus ke depan. Hanya bila disapa, barulah ia berbunyi dan menengok. Kalau tidak, dia akan berjalan saja lurus menuju pasar, tempat ia bekerja sebagai penjahit. Siri memang lelaki pendiam.

Awalnya aku tidak begitu mengenal Siri, sahabatku itu. Kesibukan sebagai penjahit membuat ia tidak punya banyak waktu untuk bergaul seperti teman lain. Misalnya bermain voley atau sepakbola sebagaimana anak muda pada umumnya. Ia lebih sering berada di belakang mesin jahit menyelesaikan pesanan pelanggannya. Kecuali pelanggan yang menjahitkan pakaian atau tetangga kedainya, tak banyak yang bergaul akrab dengan Siri.

Siri menjadi terkenal justru setelah ia menderita sakit. Sakit itu bukan sakit biasa, tetapi tersebab kebiasaan yang telah menjadi ‘adat orang muda’ di kampung kami. Persisnya aku tak tahu. Kisah berikut aku dapatkan dari beberapa orang yang mengaku menyaksikan peristiwa tersebut.

Sejak seminggu menjelang lebaran, para perantau asal kampung kami banyak yang pulang untuk merayakan lebaran bersama keluarga besar. Teman-teman yang menetap di kampung tentu saja senang bertemu teman sebaya yang lama merantau. 

Telah menjadi kebiasaan bagi anak muda di tempat kami, perantau yang baru pulang akan memberi oleh-oleh untuk teman-teman yang di kampung. Selain itu, tentu saja mentraktir untuk pesta minuman keras. Pesta itu berlangsung pada malam takbiran. Yaitu seusai jamaah masjid melakukan takbiran berkeliling kampung.

Sejak senja, perantau muda akan berlomba-lomba menyumbangkan uang untuk membeli minuman keras. Beraneka ragam merek, jenis, dan rasanya. Semua minuman itu kemudian dikumpulkan di sebuah tempat. 

Usai acara takbiran, botol minuman itu dibuka. Isinya dituang ke dalam sebuah baskom besar. Kadang kala ditambah sedikit kapur sirih agar ‘khasiatnya’ lebih kuat. Gelas-gelas dikeluarkan, diisi, dan pesta pun dimulai. Di sekeliling baskom itu orang-orang duduk memegang gelas berisi minuman sambil mengobrol. Konon begitulah cara untuk menjaga persahabatan dan kekompakan di kalangan anak muda di tahun 1980-an itu.

Pesta minuman keras itu berlangsung persis di depan kedai tempat Siri menjahit. Kedainya belum ditutup karena ia masih harus menyelesaikan beberapa pakaian yang akan dipakai pelanggan untuk berlebaran esok hari. 

Pada jam 9.00 malam akhirnya pekerjaan Siri selesai. Ketika ia akan menutup kedai, teman-temannya yang sedang berpesta meminta agar ia menutup kedai agak malam saja. Karena segan, Siri mengikutinya. Sebagai tanda terima kasih, Siri disuguhi minuman. Siri menolak karena ia memang tidak biasa meminum minuman keras. Tapi tawaran itu datang berkali-kali, hingga Siri merasa tak enak juga menolaknya.

Gelas pertama, agak terbatuk. Gelas kedua mulai lancar. Teman-teman menyemangati dan memuji Siri. Karena memang bukan peminum, Siri tidak tahu bagaimana cara menikmati minuman keras. Ia tidak meminumnya seteguk demi seteguk seperti yang lain. Tapi langsung saja mengosongkan gelas dengan sekali teguk. Pengaruh alkohol menjalar dengan cepat. Menjelang tengah malam Siri pun mabuk. Tubuh gempalnya linglung, terhuyung dan jatuh ke lantai tembok dengan kepala membentur tiang besi los pasar. Mulutnya berbuih dan tak sadarkan diri. Beberapa orang mencoba menolong Siri. Namun pertolongan seperti apa yang bisa diharapkan dari para pemabuk yang lagi berpesta?

Selepas peristiwa itu, Siri sering membentur-benturkan kepalanya. Seakan ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Mulanya ia membenturkan kepalanya ke pintu, kemudian ke dinding. Setelah itu ke tiang besi loost pasar. Kala para perantau satu per satu beranjak untuk mengadu nasib ke rantau, pada saat yang sama Siri juga beranjak menjalani nasib barunya sebagai orang gila. Garis nasib inilah yang kemudian mempertemukan kami menjadi sahabat baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun