“Buya saja”, jawab kami.
“Baik. Kalau begitu kita shalat tarawihnya dua puluh satu rakaat ya”. Kami mengangguk.
Minggu berikutnya, terjadi hal yang sama. Kami shalat tarawih lagi di rumah. Kali ini kami sepakat adik saya yang jadi imam. Maka kami shalat tarawih sebelas rakaat. Selesai shalat, saya tanya Buya; kenapa beliau tidak keberatan dengan shalat sebelas rakaat.
“Shalat berjamaah itu mengikuti imam. Kalau imam shalat sebelas, ya Buya harus ikut ..” kata beliau.
“Sebagai orang tua, Buya kan bisa memaksa kami?”
“Tarawih itu kan shalat sunat? Kenapa Buya harus memaksa kalian? Ibadah yang baik itu ikhlas, bukan banyak atau sedikitnya..”.
Buya dan Mamak kami telah lama meninggal dunia. Dari keduanya kami diajarkan tentang pentingnya tanggungjawab dan keikhlasan dalam beribadah.