Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Menjejak GERDEMA, Menyambut MEA 2015

1 Desember 2014   06:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:23 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14173651611306568351

[caption id="attachment_379481" align="alignnone" width="596" caption="sumber: antarakaltim.com"][/caption]

Data buku:

Judul: Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat

Penulis: DR. Yansen TP., M.SI

Penerbit: Elex Media Komputindo, Jakarta

Cetakan: Pertama, 2014

Tebal: xxi+179 halaman

ISBN: 978-602-02-5099



Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disambut hangat oleh berbagai pihak sebagai bentuk kepedulian Pemerintahan Pusat dalam mengakomodasi kiprah orang desa. Bagi saya, UU tersebut boleh dikata terlambat. Terhitung 69 tahun sejak Indonesia merdeka, orang desa baru bisa secara layak di-wongke (dimanusiakan). Maklum terlambat, pembangunan nasional selama ini nyatanya tidak tepat sasaran. Bahkan justru merusak konsep bangunan ideal sebuah pembangunan nasional itu sendiri. Orientasi pembangunan yang serba kota, menyebabkan orang desa berbondong-bondong bekerja di kota.

Urbanisasi kemudian menjadi permasalahan baru pembangunan nasional. Wajar bila lahan pertanian di desa menyusut drastis. Setali tiga uang dengan langkanya angkatan muda desa sudi menjadi petani. Teranggap lebih mensejahterakan dengan bekerja di kota; menjadi pekerja bangunan (tukang batu). Akibatnya, desa kehilangan potensi dasarnya tersebut.

Sudah terlalu sulit menjumpai desa yang berpunya lumbung padi. Tak pelak, orang desa juga makan nasi dari beras impor. Bercocok tanam pun masih menggunakan teknologi konvensional. Artinya, di samping soal ketersediaan lahan yang mulai menyusut –karena dibangun rumah, juga faktor minimnya jumlah petani (SDM-nya tidak ada).

Peran desa sebatas pada urusan administrasi macam pembuatan KTP dan pemilihan kepala desa. Fenomena demikian tampaknya lumrah di berbagai tempat. Pemerintahan desa dalam artian urusan fungsi legal kepemimpinan, sebatas instruksi yang bersifat top-down. Rakyat diposisikan pasif, asal terima jadi. Pelibatan masyarakat dianggap tidak relevan lantaran mereka diperankan sebagai objek pembangunan. Apalagi masih terstigma bahwa orang desa masih berpendidikan rendah. Sikap superioritas elite di pemerintah pusat maupun daerah (gubernur-bupati) inilah melanggengkan ketertinggalan desa dalam segala aspek.

Desa (yang) membangun, bukan membangun desa

Kebijakan revolusioner datang dari Bupati Malinau, Yansen TP. Sebagai bupati masa periode 2011-2016, hasrat memajukan Malinau berbuah pada pemutarbalikan konsep pembangunan plus keberanian sikap. Berdasar pengalamannya dalam birokrasi pemerintahan Malinau selama berpuluh tahun, orientasi pembangunan mesti diubah.

Bukan melulu soal anggaran/dana. Melainkan mentalitas para pemangku kebijakan macam gubernur dan bupati dalam memimpin yang dipersoalkan Ya, model pemerintahan top-down mesti diubah. Menjadi bottom-up. Pemerintah sudah saatnya memberikan kepercayaan pembangunan sepenuhnya dikerjakan oleh orang desa. Karena merekalah yang benar-benar mengerti akan kebutuhan desanya sendiri. Kepercayaan tersebut menjadikan orang desa bukan lagi sebagai penonton atas berbagai kebijakan pemerintah pusat/daerah dalam konteks pembangunan desa. Tapi, bergeser menjadi pemain, terlibat langsung dari hulu sampai hilir.

Transformasi model pembangunan desa macam itu menyembulkan pertaruhan besar. Di satu sisi demi kebaikan desa, tapi, bagaimana mengatasi kegagapan masyarakat desa (aparatur desa) dalam soal perencanaan, penganggaran, dan pembukuan sebuah proyek. Di sinilah peran pemerintah kabupaten dibutuhkan. Namun, hal itu hanya sebatas pada ranah pemberdayaan, pelatihan, dan pengawasan semata. Mengenai apa maunya desa dan apa yang desa butuhkan demi kemajuannya, masyarakat desa tetap menjadi pelaku tunggal, tanpa intervensi. Di sinilah kemandirian desa serta-merta akan terbentuk. Maka, bila masyarakat desa bisa hidup berswadaya, tentunya dapat merembes pada hasil (output) di bidang-bidang lain. Hasil pertanian bisa dikelola lebih lanjut untuk pemerolehan nilai jual lebih. Begitupun bagi desa yang berbasis pada usaha peternakan, perikanan, dan pariwisata. Parameter demikian praktis menggiatkan produksi. Menghidupkan roda perekonomian dan berhilir pada kesejahteraan masyarakat desa.

Bila demikian, laju urbanisasi bisa melambat dengan sendirinya. Tercipta pemerataan ekonomi antara desa dengan kota. Bahkan desa akan memasok aneka sumber pangan kepada orang kota. Di sinilah maksud sebuah arti desa yang membangun, mampu memenuhi kebutuhannya sendiri hingga berswasembada. Bukan lagi membangun desa, yang berarti, desa dianggap miskin-terlunta sehingga perlu bantuan pemberdayaan pihak luar.

Malinau sebagai tamsil

Malinau merupakan kabupaten terluas di Provinsi Kalimantan Utara. Luasnya mencapai kira-kira 40 ribu kilometer persegi. Bandingkan dengan luas DKI Jakarta yang hanya 661 kilometer persegi. Secara akses informasi dan tingkat pendidikan, masyarakat Malinau kiranya masih tertinggal. Tapi, Malinau berpunya hasil alam yang melimpah. Sayangnya, Yansen memaparkan persoalan lain dari penyebab keajegan Malinau: mental masyarakat desa yang masih apa adanya alias sulit diajak maju membangun Malinau. Mentalitas inilah yang menjadi penyebab utama masyarakat desa selalu pasif alias pasrah terhadap keadaan.

Tapi, Yansen tetap percaya bahwa mentalitas dapat diubah asalkan mereka diberikan akses berupa pelatihan dan pendidikan. Yansen percaya masyarakat desa bisa meningkatkan kesejateraannya sendiri. Bupati kedua Malinau itu ingin membuktikan bahwa kunci pembangunan nasional sejatinya bermula dari desa.

Maka, berselang setahun masa kepemimpinanya, pada tahun 2012, ia membuat kebijakan yang menjadi pertaruhan besar --kalau-kalau memang orang desa memang “ditakdirkan” tidak bisa mengurus dirinya sendiri-- bernama Gerakan Desa Membangun (GERDEMA). Tak tanggung-tanggung, terimplementasikan penyerahan 33 urusan dari pemerintah kabupaten kepada pemerintahan desa.

Spirit yang coba digelorakan GERDEMA ialah partisipasi aktif masyarakat desa dalam membangun desanya sendiri secara mandiri. GERDEMA menjadi fokus dan muara dari segala kebijakan bupati yang bergelar doktor tersebut. Dalam perencanaan pembangunan desa, GERDEMA menuntut keterlibatan penuh orang desa pada musyawarah desa macam Musrenbangdes dan RPJMDes. Dalam pertanggungjawaban keuangan desa, diadakan sidang paripurna yang dilaksanakan BPD dan terbuka untuk umum. Bahkan desa di Malinau sudah mampu menyampaikan/membuat LPJDes.

Pembangunan tentunya membutuhkan dana tak sedikit. Besar kecilnya dana juga menjadi parameter sebuah pembangunan terlaksana optimal atau amburadul. GERDEMA juga membutuhkan dana tak sedikit. Tak pelak, dana yang digelontorkan bupati yang pernah menjadi camat itu, menembus nominal Rp1,2-1,3 Miliar per desa per tahun.

Jauh sekali dibanding anggaran untuk desa sebelum GERDEMA yang hanya sebesar Rp200-500 juta per desa per tahun. Inilah wujud nyata kepercayaan Yansen pada desa. Rupanya, partisipasi masyarakat desa meningkat tajam dengan stimulus dana besar tersebut. Tercatat lebih dari 70 persen masyarakat desa terlibat secara total dalam GERDEMA. Walhasil, sarana infrastruktur macam puskesmas, tempat ibadah, dan sekolah terbangun secara merata. Perekonomian masyarakat desa juga terkerek.

GERDEMA terbukti membawa kemajuan desa yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan produksi pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat desa (halaman: 175). Jadi, dana miliaran rupiah itu nyatanya mampu dikelola dengan baik oleh masyarakat desa di Malinau. Satu hal lagi yang menarik dari GERDEMA ialah model keanekaragamaan pendekatan yang ditawarkan. Jadi, desa pertanian membutuhkan perbedaan cara kelola dengan desa perikanan, desa wisata, atau desa peternakan.Inilah cara pandang Yansen yang membedakan dengan kebijakan pembangunan pemerintahan pada umumnya selama ini yang menggeneralisasi pembangunan di setiap daerah meski mempunyai potensi alam yang berbeda-beda.

Menatap MEA 2015

Buku dengan ilustrasi metamorfosis kepompong menjadi kupu-kupu ini kiranya tidak sebatas berhenti pada pengenalan GERDEMA. Pembacaan selanjutnya menuntut kepada seluruh stakeholder terutama pemerintahan daerah, untuk menjadikan model pembangunan di wilayahnya berspirit GERDEMA/GERDEMAISASI. Buku yang diangkat dari hasil disertasi Yansen itu bisa menjadi pegangan/panduan kebijakan sekaligus tamsil bahwa orang desa sejatinya bisa diandalkan asalkan diberikan kesempatan.

Kehadiran buku ini juga teranggap tepat lantaran bebarengan dengan datangnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015. Sejauh mana kesiapan masyarakat Indonesia mempersiapkan datangnya MEA yang sudah di depan mata. Pemberlakuan MEA menjadikan desa sebagai pertahanan utama kekuatan ekonomi negara. MEA akan berdampak besar bagi wajah desa, paling tidak pada dua hal: tenaga kerja dan produktivitas desa. Data BPS menunjukkan adanya penyusutan tenaga kerja di sektor pertanian dari 41,2 juta orang pada tahun 2012 menjadi 39,96 juta orang pada 2013. Tantangan lain: pertanian tidak bisa lagi mengandalkan penggunaan alat-alat konvensional.

60 persen masyarakat Indonesia hidup di desa. Jangan sampai Indonesia hanya sebagai penoton di era pasar bebas tersebut. MEA menjadi tantangan tersendiri. Pergerakan bebas perdagangan dan investasi bakal menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Organisasi Buruh Dunia (ILO) memperkirakan, permintaan akan tenaga kerja meningkat 24 persen atau 12 juta orang. Imbasnya, bila desa tidak segera berbenah, maka angkatan muda desa akan berbondong-bondong ke kota atau negara ASEAN (baca: menjadi TKI).

Diperlukan konsolidasi masyarakat desa untuk menciptakan program ekonomi yang prospektif dengan meningkatkan daya saing kualitas hasil pertanian dan ekonomi keratif, misalnya. MEA juga bakal menguji sejauh mana daya tahan orang desa dalam aktifitas produksinya terhadap kompetisi bebas yang akan terjadi.

Persoalan lain desa ialah mulai kendornya ikatan sosial. Survei BPS tentang Potensi Desa menunjukkan kegiatan gotong royong sebagai modal sosial orang desa mulai menurun menjadi 89 persen pada 2011 ketimbang pada 2003 yang masih mencapai kisaran 94 persen. Kegiatan lembaga swadaya masyarakat di pedesaan pun turun drastis: hanya tinggal 8 persen pada 2011 yang masih melakukannya dari 19 persen pada tahun 2005.

Maka, penguatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat desa mutlak dilakukan segera. Ya, GERDEMA kiranya bisa menjadi solusi alternatif sekaligus tameng dalam membendung dampak negatif pemberlakuan MEA. Prinsipnya, menjadikan MEA sebagai tantangan, bukan hambatan.

Terlepas dari MEA, GERDEMA yang sudah mendapat pengakuan dengan penghargaan Innovative E-Gov dari Kementerian Dalam Negeri pada 2013 menyibakkan pesan moral bahwa sudah saatnya orang desa disetarakan dan dimampukan lewat kebijakan model GERDEMA. GERDEMA yang menyuntikkan dana miliaran rupiah pada desa --hampir sama dengan ketentuan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebesar Rp1,4 miliar per desa per tahun-- kiranya perlu diringi dengan mekanisme pengawasan yang maksimal. Tanpa itu, kita patut khawatir kalau-kalau dana besar itu justru menjadi bumerang bagi masyarakat desa (baca: aparatur desa) dengan berpindahnya lokus laku korup yang semula dari kota ke level desa. Untuk sementara waktu, kecemasan tersebut bisa dijawab dengan pelaksanaan yang sejauh ini terbukti akuntabel.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun