Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Edukasi untuk Anak-anak Luar Biasa

6 Juni 2018   13:21 Diperbarui: 6 Juni 2018   13:33 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: rosda.co.id

Pendidikan merupakan hak bagi setiap anak. Tidak terkecuali kepada mereka yang secara lahiriah maupun mental mengalami keterbatasan. Cakupan anak berkebutuhan khusus (ABK) pada kategori ini mengandung artian luas. Tidak saja kepada mereka yang selama ini masuk klasifikasi seperti tunadaksa atau autisme. Melainkan termasuk pula anak hiperaktif dan disleksia.

Buku ini terbilang lengkap mewedarkan seluk-beluk ABK, terutama dalam tinjauan pemberian asupan dan konseling/bimbingan. Jati Rinaki Atmaja selaku penulis buku, mengurai babakan ABK mulai: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, autisme, anak ADD/ADHD, dan anak DKB (diagnosis kesulitan belajar). Setiap kategorisasi ABK diuarkan rinci: dari konsep, pemberian layanan pendidikan, hingga bimbingan konseling.

Banyak hal baru dipaparkan di buku tebal ini. Pertama, perihal pendefinisian anak dianggap ABK atau tidak. Dalam amatan awam, ABK adalah sebatas bertanda kelainan fisik maupun mental. Padahal, objek ABK meluas seperti narasi di atas; deteksi ABK juga mengacu kondisi sosial-emosinya. 

Anak disleksia (kesulitan membaca), anak dysgraphia (kesulitan menulis), anak diskalkulia (kesulitan berhitung), serta anak tunalaras (kesulitan beradaptasi/bersosialisasi); merupakan berkategori lemah emosional, dan masuk wadah besar ABK (hlm: 7).

Kedua, sebagai konsekuensinya, tidak semua ABK perlu disekolahkan di sekolah khusus, Sekolah Luar Biasa (SLB). Sebagian lagi, mereka yang berkategori tunanetra, misalnya, bisa tetap bersekolah di sekolah umum/biasa. Lantaran, tunanetra "hanya" terhambat  penglihatan; tetapi masih cakap menalar materi pelajaran. Meski tetap perlu membutuhkan alat bantu dan buku berhuruf braille, tantangan yang tidak kalah penting ialah relasi sosial dengan teman sebayanya.

Hambatan psikologis merupakan tantangan terbesar bagi ABK berkategori keterbatasan fisik. Selain akan menyerang langsung kondisi psikologis si anak, juga menjadi beban psikis bagi orangtua. Karena itu pula, buku ini sekaligus mengajak orangtua selaku pihak terdekat untuk mendeteksi gejala dan jenis ABK sedini mungkin. Identifikasi diperlukan agar orangtua dapat memberikan asupan pendidikan tepat sesuai kebutuhan si anak (hlm: 1).

Ketiga, terdapat sejuta lebih ABK di Indonesia. Dengan banyaknya varian ABK, kiranya kesulitan bagi pemerintah menghadirkan SLB dan penyediaan pendidikan inklusif bagi mereka di setiap tingkatan jenjang pendidikan di sekolah biasa. 

Ada pesan implisit di buku ini melihat fenomena tersebut: yakni, ditujukan kepada masyarakat (swasta) untuk secara bersama membantu pemerintah dalam memperhatikan pendidikan untuk mereka. Setidaknya, lekas menyudahi melabelisasi ABK dengan sebutan negatif. Sebaliknya, merangkulnya dengan cinta kasih dengan menganggap mereka seperti anak pada umumnya.

Keempat, buku ini secara implisit memotivasi orangtua untuk lekas merampungan menangisi nasib berpunya ABK.  Karena itulah, buku ini secara komplit membekali orangtua --dan masyarakat luas---tentang penanganan tepat kepada mereka. Mafhum, tidak sedikit orangtua masih melakukan sikap denial alias penolakan berpunya ABK. Orangtua perlu menyadari bahwa ABK sebagaimana anak pada umumnya; tetap harus terpenuhi hak-hak mendapatkan pendidikan.

Orangtua lebih dialamatkan sebagai pendamping sisi penguatan mental ABK. Sementara guru/sekolah ditujukan pada aspek teknis pemberian materi pembelajaran. Kolaborasi antara keduanya bila berjalan efektif akan menghasilkan pendidikan inklusif ideal (hlm: 57). Namun sekaligus, buku ini juga mengalamatkan artian lebih sebagai panduan kepada peranan guru pendamping ABK non sertifikasi PLB (pendidikan luar biasa). Mengingat jumlah guru bersertifikasi PLB terkata sangat minim.

Merampungkan membaca buku ini, senyatanya ada tesis yang perlu diakui, yakni telah banyak ABK yang berprestasi mengungguli anak pada umumnya. Memiliki kemandirian besar; sudah banyak yang meraih gelar tinggi akademik, piawai dalam ilmu komputer, lihai bermusik, dan semacamnya. Dan, semua raihan tersebut berkemungkinan besar bisa dicecap karena mereka mendapatkan pendidikan yang tepat menyesuaikan kondisi dirinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun