Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jangan Wariskan Bencana ke Anak Cucu

28 Maret 2018   09:26 Diperbarui: 28 Maret 2018   09:28 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ancaman bencana tidak lagi di depan mata. Namun, telah menerjang masuk rumah kita. Ungkapan hiperbolnya: alam sudah tidak bersahabat dengan manusia. Isu pemanasan global menjadi term penyebab yang diulang-ulang dilontarkan saat musim dan cuaca sulit diprediksi lagi. La Nina maupun El-Nino, curah hujan ekstrem yang berakibat banjir, kekeringan meluas, merupakan dampak nyata perubahan lingkungan dalam beberapa dekade terakhir.

Buku ini menghasratkan "investasi" berupa pendidikan tata kelola lingkungan semenjak di bangku sekolah. Harapannya, agar kelak, sepuluh-dua puluh tahun kemudian, para siswa benar-benar mengambil langkah konkret dan tepat guna menjaga/mengembalikan kelestarian alam. Mafhum, buku ini melihat ada semacam missing link urutan pendidikan lingkungan yang diajarkan di sekolah. Pendidikan lingkungan sekadar memberikan informasi kepada siswa perihal bagaimana membuat halaman sekolah tampak asri atau sekadar tata cara menanam pohon (hlm: 163).

Padahal, ada muatan lebih besar dan kontekstual untuk disampaikan kepada mereka. Yakni, perlunya pemahaman pendidikan lingkungan berbasis hukum, agama, filsafat, etika, kemanusiaan. Injeksi pengetahuan semacam ini bakal memberikan pemahaman lingkungan secara holistik dan komprehensif. Pendidikan holistik akan menanamkan sikap kritis siswa terhadap situasi lingkungan nasional-global dan menanamkan kepekaan untuk memecahkan permasalahan lingkungan.

Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebenarnya bukan hal baru. Di banyak negara, PLH mulai diajarkan di bangku sekolah dasar hingga sekolah lanjut atas. Hanya saja, pola kurikulum menghendaki beberapa varian dalam implementasinya: menjadi mata pelajaran khusus atau disampaikan lewat pendekatan antardisiplin keilmuan, sebagai sisipan (hlm: 49). Sementara praktik PLH di Indonesia, mengingat kondisi kealamannya yang rawan bencana, sudah saatnya PLH diluaskan cakupan materinya serta seyogianya menjadi pelajaran tersendiri.

Buku tebal ini, di satu sisi menguar segudang informasi lingkungan sebagai sebuah wawasan keilmuan. Sisi lain, mewedarkan penerapan PLH pada aspek pedagogis dan metodologis pembelajaran; sehingga siswa diharap bisa secara utuh membaca aneka problematika lingkungan. Ada jawaban implisit di buku ini, mengapa semakin hari bencana alam datang silih berganti; penyebab utamanya tak lain-tak bukan lantaran kerakusan manusia mengeksploitasi sumber daya alam (baca: industrialisasi).

Tangan manusia --dengan bentuk lain-- secara langsung berpartisipasi menghadirkan bencana ekologis. Pada 1986, kebocoran instalasi nuklir Chernobyl merupakan petaka terbesar abad ke-20. Tidak hanya 20-40 ribu korban jiwa, tetapi zat radioaktif yang ditimbulkan, mengakibatkan wilayah itu tidak dapat ditinggali kembali. Hingga sekarang, efek Chernobyl masih berbekas. Dari kacamata ini, bencana Chernobyl bermula dari hasrat modernitas zaman dengan mengeksploitasi alam.

Sama halnya berkait isu pemanasan global. Diakui atau tidak, pemanasan global merupakan fakta saintifik yang membawa dampak kerusakan lingkungan secara masif. Namun, masih banyak negara, terutama negara industri/negara maju yang tetap mengelaknya sebagai pelaku pencemaran lingkungan global. Lantaran ketika mereka didesak untuk ikut menghentikan laju pemanasan global, sama saja akan mengurangi signifikan kadar produksi dan pendapatan perekonomiannya.

Karena itu, salah satu muatan PLH di sekolah mestinya menghasratkan siswa mengerti betul perihal ada kaitan erat antara bencana alam mutakhir dengan kepentingan ekonomi dan politik nasional-global. Membaca kehadiran bencana tidak bisa satu arah; apalagi bila hanya dikaitkan oleh faktor teologis, misalnya. PLH juga mesti meluaskan cakupan tentang arti penting dari pengurangan "kerakusan" manusia atau gerakan de-growth.Dengan kata lain, sudah saatnya manusia modern mengurangi kegiatan konsumsi.

Buku ini tidak berisi tata cara menanam tumbuhan, reboisasi, atau tips-tips pragmatis merawat lingkungan. Lebih urgen lagi, agar para siswa --sebagai generasi masa depan, memafhumi pemetaan dan mitigasi problematika lingkungan hidup. Kesadaran macam itu sememangnya perlu ditumbuhkan sedini mungkin. Tidak ada alternatif pilihan ketika manusia memusuhi/mengeksploitasi alam selain justru akan menyengsarakan manusia itu sendiri. 

Data buku:

Judul: Pendidikan Lingkungan Indonesia

Penulis: Ketut Prasetyo & Hariyanto

Penerbit: Rosdakarya, Bandung

Cetakan: Januari, 2018

Tebal: 320 halaman

ISBN: 978-602-446-186-7

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun