Mohon tunggu...
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Itsbatun Najih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aku Adalah Kamu Yang Lain

Mencoba menawarkan dan membagikan suatu hal yang dirasa 'penting'. Kalau 'tidak penting', biarkan keduanya menyampaikan kepentingannya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

[Resensi Buku] Masa Lalu Islam untuk Islam di Masa Depan

1 November 2017   18:38 Diperbarui: 2 November 2017   12:54 1723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membincang sejarah peradaban Islam tidak sama dengan mendiskusikan sejarah peradaban Arab. Letak perbedaan bisa ditilik dari objek kajian berupa agama yang bersifat meluas. Kita tahu Islam tidak sebatas berurusan murni soal ibadah dan penghambaan. Melainkan keluasan objek yang melintas batas sekat primordial suku-bangsa. Inilah yang kerap disebut fungsinya sebagai rahmatan lil 'alamin. Dari sinilah Islam menjadi wadah yang bisa memuat aneka corak pandang keislaman yang menghilirkan simpulan betapa kayanya peradaban Islam.

Obrolan sejarah mengandaikan lakon-lakon orang tempo dulu. Tentunya, buku ini menapaktilasi laku-laku muslim masa lalu. Dimulai dari Nabi Muhammad Saw hingga perkembangan kontemporer sebaran Islam di seantero penjuru dunia. Penulis buku terbilang selektif dengan tidak menguar seluruh narasi-narasi peradaban Islam. Pertama, buku bertema sejenis telah melimpah ruah. Kedua, hampir-hampir narasi yang dikemukakan dalam buku-buku sejenis ini kurang lebih sama persis. Tak ada gaya baru maupun tafsir ulang peristiwa sejarah.

Karena itu, penulis buku tampak ingin melakukan penyegaran dan pemaparan menukik. Hal itu bisa dilihat dari keberanian penulis buku untuk sedikit-banyak menulis sejarah muslim dengan adil. Tidak saja melulu membabar hikayat kemajuan ilmu pengetahuan di masa Bani Abbasiyah seperti yang sering dikemukakan selama ini. Melainkan secara berjiwa besar membuka kepingan-kepingan kelam yang turut menyertai. Tersebut di antaranya: Perang Jamal, Perang Shiffin, sosok Abu Abbas as-Shaffah, dan peristiwa Mihnah.

Rupanya, penulis buku berkeinginan agar penceritaan sejarah pilu itu bisa menjadi ibrah (pelajaran) bagi muslim di masa sekarang dan mendatang; bahwa persatuan umat jauh teramat agung bila dibanding anasir kekuasaan yang bersifat pragmatis dengan rentan memecah belah kerukunan. Lebih lanjut, buku juga memancing hasrat pembaca dengan seksama mendudukkan perkara terhadap hal-hal yang selama ini menjadi ajang perdebatan dan nuansa sensitivitas tinggi. Semisal saja penulis buku cukup mendetail menyodorkan kronologi kepemimpinan Khalifah Usman bin Affan yang berbalut aroma nepotisme.

Dalam konteks itu, penulis buku tidak sama sekali mengajak pembaca laiknya hakim. Semisal memutus Khalifah Usman "bersalah" yang menjalankan roda pemerintahan tidak sesuai prinsip good governance. Sikap cermat dan adil merupakan hal asasi seorang yang berhasrat mengemukakan sejarah. Maka, yang perlu dipaparkan penulis buku adalah menyibak alasan-alasan logis, kontekstual, dan faktual latar belakang kebijakan Khalifah Usman memasukkan sanak-saudaranya dalam birokrasi (hlm: 87).

Keagungan Baitul Hikmah sebagai laboratorium besar keilmuan era Khalifah Harun Alrasyid sememangnya perlu untuk terus disodorkan kepada pembaca. Berjilid-jilid buku/kitab karangan dan hasil riset para ilmuwan muslim telah dihasilkan. Pun, hingga menjadi rujukan dan sumbangsih besar pada era sekarang macam kitab Alqanun fi altibb karya Ibnu Sina pada bidang kedokteran. Romantisme kebanggaan masa lalu tersebut seyogianya menjadi pelecut agar muslim era sekarang cepat-cepat bangun dari tidur panjang dan lekas berpacu mengembangkan ilmu pengetahuan mutakhir yang tetap bersendikan nilai agama.

Membedai dari buku bertema sejenis, buku ini melengkapi bahasan berkait sebaran Islam di Kamboja, Laos, Filipina, Vietnam, Myanmar. Metode masuknya Islam di wilayah Asia Tenggara utamanya menggunakan jalur budaya, pendidikan, dan perniagaan (hlm:233). Tiga jalur ini disebut-sebut merupakan metode paling efektif dalam mematri corak keislaman yang sebenarnya: ramah dan santun. 

Ada negoisasi budaya yang dibangun antara nilai-nilai Islam sebagai pendatang dan unsur lokalitas. Pendakwah di kawasan Asia Tenggara memadukan keduanya dalam terma akulturasi dan asimilasi budaya. Walhasil, pesan implisit untuk citra Islam berwajah sejuk ialah berdakwahlah dengan ramah, bukan dengan marah-marah sembari memvonis bid'ah --laiknya fenomena keberagamaan dewasa kini. Wallahu a'lam

Judul: Sejarah Peradaban Islam
Penulis: Ratu Suntiah dan Maslani
Penerbit: Rosdakarya
Cetakan: I, September 2017
Tebal: 324 halaman

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun