Mohon tunggu...
Itha Abimanyu
Itha Abimanyu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bebaskan Rasaku

22 November 2022   20:21 Diperbarui: 22 November 2022   20:40 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BEBASKAN RASAKU

Prang ... suara benda pecah membuat konsentrasi belajar jadi terganggu. Aku mendengar sayup-sayup ibu dan ayah bertengkar.

Aku sudahi aktivitas belajarku, memasang headset, menyetel musik dan lalu naik ke tempat tidur, pejamkan mata.

Sebenarnya ingin aku berteriak sekeras-kerasnya agar mereka tahu, betapa aku sudah muak mendengar pertengkaran mereka. Aku seperti orang gila, cukup melihat dan mendengar peristiwa, baik itu enak ataupun tidak.

"Aku lelah dengan semua ini, ya, Tuhan. Kapan mereka akan sadar, bahwa yang mereka perbuat telah menyakiti aku, anaknya," lirih hatiku berkata.

Pejamkan mata namun tak juga aku tertidur. Teringat ulasan Bu Siska, ibu guru cantik membahas tentang arti kemerdekaan.

"Di saat seseorang mendapatkan hak untuk mengendalikan dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain dan atau tidak bergantung pada orang lain lagi," jawab Bu Siska ketika seorang murid bertanya kepadanya.

"Sama artinya dengan kebebasan, ya, Bu?" tanyaku.

"Iya, jadi setiap individu memiliki kemampuan bertindak sesuai dengan keinginannya," lanjut Bu Siska menjawab pertanyaanku.

Namun bagiku, kebebasan adalah ketidakpastian, mungkin menyenangkan mungkin juga tidak. Karena aku masih hidup tetapi seperti orang mati, tidak bisa berbuat apa-apa.

Tok ... tok ... tok ....

Suara ketukan di daun pintu membuyarkan lamunan sesaatku. Kulepas headset yang sedari tadi menempel di kupingku namun tak tahu aku mendengarkan musik apa karena pikiranku pun entah ke mana.
Bangun dari tempat tidur dan lalu membuka pintu.

"Ayo, Re! Kamu ikut Ibu ke rumah Pamanmu. Karena Ayahmu tak ingin kau bersamanya," ucap Ibu sambil membuka almari pakaianku dan mengambil tas hendak memasukkan bajuku ke dalam tas itu.

Namun tiba-tiba Ayah datang dengan wajah penuh amarah.

"Apa-apaan kau ini, aku tidak rela jika anakku kau titipkan di Pamannya. Kau kan ibunya kenapa tak kau urus saja Rere selagi aku pergi." Ayah berkata dengan nada tinggi.

"Ayah ini kenapa? Toh Kamu pergi pun gak bakal balik lagi dan kamu tahu sendiri aku sibuk dengan urusanku dan tak bisa sepenuhnya memperhatikan anak kita," tukas Ibu dengan nada yang tak kalah tingginya.

Ya, Tuhan ... ada apa dengan semua ini, melihat ibu dan ayah yang tidak ingin hadirnya aku di antara mereka membuat air mata menyeruak seketika.
Aku berlari berhambur ke luar rumah, berlari dan terus berlari untuk tidak memedulikan mereka lagi.

"Buang aku jauh-jauh dari hidup kalian. Kehadiranku di antara kalian hanya dianggap parasit, benalu yang menjijikan. Aku orang yang sangat merepotkan untuk kalian ... benarkan begitu?" tanyaku dalam hati yang tak sempat aku ucapkan pada ibu dan ayahku.

"Aku ingin terbebas dari semua ini. Ya, aku butuh kebebasan, aku ingin kemerdekaan bagi perasaanku," hatiku kembali berucap.

Rumah yang bukan untuk tempat singgah takkan membuat aku nyaman karena hanya seperti penjara paling mengerikan. 

Aku berlari dan terus berlari sampai entah, mungkin di tempat lain bisa aku temukan pelajaran.
Hanya waktu yang bisa menentukan aku pulang, kembali ke rumah atau tidak. Aku merasa segalanya sudah berbeda dan aku tidak akan pernah merasakan sia-sia, karena kuyakin ... Tuhan akan selalu ada untukku.

Sumedang, 22 November 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun