Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Artaban, Kisah Orang Majus yang Lain [6]

7 Desember 2022   21:35 Diperbarui: 7 Desember 2022   22:04 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Dalam Jalan Sedih yang Tersembunyi 

TAHUN-tahun Artaban berlalu cepat di bawah keheningan kabut, di sini dan di sana. Sungai kehidupannya bersinar melewati bayang-bayang yang menyembunyikan jalannya.

Ia berada di kerumuman manusia kota-kota Mesir yang padat, demi mencari jejak-jejak keluarga kecil dari Betlehem itu. Ia menemui pohon-pohon sikamor di kota Heliopolis, di bawah dinding-dinding benteng Romawi di kota Babilonia Baru di sisi Sungai Nil. Jejak-jejak itu begitu redup, menghilang berkali-kali, seperti bekas jejak-jejak kaki di pasir yang berkilau sejenak, lalu menguap pergi.

Artaban pergi ke kaki piramid-piramid, memandang ujung puncaknya yang menghadap sinar safron dari curahan cahaya matahari, monumen-monumen abadi jejak kejayaan dan harapan manusia yang mudah runtuh. Dia menatap wajah Sphinx yang lebar,  mencoba membaca makna tersirat dari mata yang tenang dan mulut yang tersenyum. 

Apakah semua usaha ini sia-sia seperti yang dikatakan oleh Tigranes? Sebuah teka-teki yang tidak ada jawabannya, sebuah pencarian yang tidak akan berhasil? Apakah ini perjalanan yang menyedihkan, yang didukung oleh senyum yang sulit dimengerti, atau sebuah janji yang akan dikalahkan, pemburuan mendapatkan hadiah yang berakhir dengan kekecewaan? Apakah ini perjalanan seorang bodoh yang akan menjadi bijaksana, seorang buta yang akan melihat, seorang pengembara yang akan tiba pada sebuah persinggahan, pada akhirnya?

Di rumah-rumah ibadah di Alexandria, Artaban berbincang-bincang dengan pendeta-pendeta kaum Ibrani. Kaum terhormat, yang membungkuk pada gulungan perkamen tulisan para nabi Israel. Dengan suara keras mereka membaca ayat-ayat suram tentang penderitaan Sang Mesias yang dijanjikan---yang hina dan tertolak, manusia yang menderita dan penuh dukacita.

"Ingatlah, anakku," kata seorang pendeta sambil memandang mata Artaban lekat-lekat, "Raja yang engkau cari itu tidak akan ditemukan di istana atau di antara orang kaya dan berkuasa. Tidak ada kemuliaan anak Abraham yang akan melawan kekuasaan Yusuf di istana-istana Mesir. Atau singgasana keagungan Solomo di Yerusalem. Namun. Terang yang dinantikan itu adalah terang yang baru, kemuliaan yang muncul dari penderitaan panjang, dan akhirnya menang. Kerajaan yang akan didirikan oleh-Nya adalah kekal, keagungan yang sempurna, kasih yang tak terkalahkan.

"Aku tidak tahu bagaimana ini akan terjadi atau bagaimana raja-raja di bumi akan dibawa mengenal Mesias, dan memberi penghormatan kepada-Nya. Tetapi ini yang kutahu, bahwa mereka yang mencari Dia akan melakukannya dengan sungguh-sungguh, mencari yang miskin dan rendah, mencari yang paling menderita dan tertekan," ujar pendeta itu.

Setelah itu Artaban terus mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ia mencari di antara manusia yang terserak, keluarga kecil dari Betlehem yang mungkin sudah menemukan tempat pengungsian. Dia melewati seluruh wilayah, bertemu dengan orang-orang menangis karena tidak ada makanan. Dia tinggal di kota yang sedang ditimpa wabah penyakit dan bertemu orang-orang rang merana akibat penderitaan yang nyaris tak tertolong. Dia mengunjungi penjara-penjara bawah tanah yang suram, menatap wajah-wajah para budak yang membanting tulang di pasar-pasar, merenungi mata-mata letih karena terlalu bekerja keras. 

Di antara dunia yang rumit dan letih, dia menemukan banyak orang untuk ditolong. Dia memberi makan yang lapar, memberi pakaian yang telanjang, merawat yang sakit, menghibur yang tertawan. Begitulah tahun-tahunnya berlalu cepat, lebih cepat melebihi gerakan kumparan penenun yang menyusun benang, membentuk pola-pola yang jelas. 

Ia seperti telah melupakan apa yang dia cari. Sendirian dia menunggu matahari terbit, menanti di pintu gerbang penjara Romawi. Lalu tangannya menyentuh sesuatu di dadanya, tempat mutiara itu, satu-satu harta yang tersisa. Dia menatap permata indah itu. Kilaunya lembut, cahaya biru dan merah muda bergantian muncul, seolah menyerap pantulan batu safir dan merah delima, yang telah ia berikan dulu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun