Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Sitor Situmorang & Ibu Pergi ke Surga

15 Oktober 2022   06:36 Diperbarui: 15 Oktober 2022   06:45 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Tanpa sengaja saya dihantar orang dan peristiwa untuk mengenal penyair Sitor Situmorang dan karya-karyanya. Sitor yang juga seorang esais, penulis naskah drama, jurnalis, penerjemah, sejarawan dan antropolog Batak.

Tahun 2010 saya ke Ubud untuk mengikuti UWRF, saat itu mereka menggelar tribute untuk Sitor. Tadinya saya berpikir akan mendengar petualangan Sitor di dunia sajak, tapi rupanya waktu itu ia berusia 86 tahun, ingatan sudah menurun, di depan meja yang menghadap audiens, dengan Debra Yatim sebagai moderator, apa pun pertanyaan yang diberikan kepada Sitor, yang ditemani Barbara istrinya, yang diingatnya adalah peristiwa di Salemba, saat dia ditangkap dan dimasukkan ke penjara tanpa pengadilan, oleh pemerintahan Suharto.

Sampai tahun 2014, ketika saya sudah mendengar nama Sitor dan belum menghikmati karyanya, saya dihubungi dan diminta seorang bernama Badu Situmorang, untuk menuliskan biografinya. Baru saya tahu Direktur Navigator Asia-Pacifik itu adalah keponakan dari Sitor Situmorang. Ayah Pak Badu adalah abang dari Sitor, ia memanggil Sitor dengan sebutan uda. Dan yang mengesankan dari pekerjaan ini, adalah kesempatan mengunjungi rumah masa kecil Pak Badu, rumah yang sama Sitor Situmorang menghabiskan masa kecil, di desa Harianboho, Samosir.

Saya menginap dua malam di Pangururan, ibu kota Kabupaten Samosir, dari sana saya diantar seorang kawan, bermotor, melewati jembatan tana ponggol, naik ke Harianboho. Rumah setengah kayu beratap seng itu seperti berbentuk bujur sangkar besar, teras semen kecil di depan pintu, ruang pada bagian tengah luas dan beberapa kamar di sisinya. Di dinding rumah beberapa kliping Sitor dari Kompas, dan media lain, yang ditempel dengan cara begitu saja seperti pengumuman. Makam keluarga besar di belakang rumah, padi-padi dijemur di pekarangan samping, ayam ternak yang ramai berkotek berkeliaran dan anjing jinak yang tak menggonggong, disamping saya berkenalan dengan satu keluarga yang mendiami rumah. 

Di seberang rumah, jalan aspal yang tak lebar, baru di sisinya terletak danau besar itu, yang banyak disebut dalam puisi-puisi Sitor. Dari danau, keluarga menyambungkan pipa ke rumah, untuk mengalirkan air jernihnya. Di sebelah kanan rumah, melewati jalan menurun, adalah sawah-sawah yang luas dan terbuka, saya berdiri di tengahnya, telinga saya jelas mendengar gemericik suara air dari petak-petak sawah. Lebih menurun saya akan bertemu danau lagi, satu kapal kayu kecil ditambat di tepinya, beberapa rumah warga yang dari kayu, dan rumah penggilingan padi yang sudah tutup. Lama saya berputar-putar di sana memperhatikan dan merasakan suasana hening tak bersuara. Sementara matahari bersinar, hangat menyentuh kulit, tiupan angin tipis-tipis menjadikan cuaca dingin sejuk. Bagaimana dan di mana area bermain Sitor dulu?

"Ibu dari KPK ya?" saya ingat pertanyaan dari beberapa laki-laki yang sedang minum kopi di kedai. Saya tertawa mendengarnya. 

Lantas D Zawawi Imron, penyair asal Madura, beberapa kali ke Jakarta atas undangan Radhar Panca Dahana (alm.), pertama beliau tahu saya orang Batak, dia tanya, kamu tahu puisi-puisi Sitor Situmorang kan? Saya tertawa. Lalu Abah Zawawi menyitir sajak pendek, bunga di atas batu. Apa artinya, Bah, tanya saya. Kamu ini bagaimana, dari yang keras dan kaku pun bisa membuahkan keindahan. Oh iya, betul. Abah membuat saya membeli buku-buku puisi Sitor, dan belajar keindahannya.

Lalu saya berjumpa buku Toba Na Sae, sejarah lembaga sosial politik di Tanah Batak abad XIII-XX. Dari sana saya mengenal istilah bius, horja, huta, ruma, Sorimangaraja dan tahu ada apa di Sianjurmulamula. Peristiwa mitologi Batak, batara na tolu, dewi danau, peristiwa mistik danau Toba, dan yang lain. Pengantar yang memudahkan ketika saya kemudian tinggal di Balige selama beberapa waktu ini. Kota di mana Sitor tinggal selama lima tahun, untuk sekolah di HIS, sekolah yang didirikan Belanda, untuk anak-anak Kepala Nagari di sekitar Toba. 

Dan buku kumpulan cerpen ini, Ibu Pergi ke Surga, yang berisi seluruhnya 23 cerpen yang pernah dibuat oleh Sitor. Tokoh aku menceritakan ia pulang kampung untuk menghantar ibu menuju kematiannya. Suasana dalam cerpen seperti menyambung dengan ingatan saya sewaktu pergi ke Harianboho, membayangkan posisi jasad ibu diletakkan di tengah rumah, dan tetangga-tetangga. Tokoh aku laki-laki, menjelaskan suasana suram dan usul tuan pendeta untuk merayakan Natal di rumah mereka, agar ibu dapat mendengar lagu kesayangannya, keengganan tokoh aku dengan kehadiran itu. Suasana duka itu begitu riel dan kering, tidak cengeng demi memanipulasi pembaca, kata yang dipakai pun: ibu telah mati! Tokoh aku bangunan Sitor, mengesankan dan pas.

Dalam cerpen Fontenay aux Roses yang indah, Sitor menghadirkan dua tokoh -laki-laki Indonesia dan perempuan muda Prancis, menjelaskan awal pertemuan, gagasan dan pikiran dua tokoh dari dua budaya berbeda, cara menyelesaikan cerita, terasa elegan dan menarik-narik. Sitor menahan dirinya yang berkuasa sebagai pengarang terhadap bangunan tokohnya, justru menguatkan karakter tokoh-tokohnya, dan begitulah situasi Eropa yang individualistis. 

Pada cerpen Perawan Tengah Hari, Sitor memperkenalkan tokoh Corrie seperti pada lapis-lapis gorden sebelum saya mengetahui rahasia-rahasia pada tokoh-tokoh yang dihadirkan di sana. Cerpen Cheri menampilkan identitas yang cepat diperkenalkan melalui nama-nama tokoh, dan suasana itu, begitulah yang saya dengar kisah-kisah cinta musiman ketika seseorang sekolah di Eropa. Cerpen Diplomat Muda, sebuah gambaran atau kritim pada kebiasaan dan keabsurdan kalangan manusia yang mewakili negara di negara orang. Dan cerpen Kehidupan Daerah Danau Toba, gambaran yang rasanya tak jauh beda hingga hari ini, tentang desa dan keterbelakangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun