Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Balige dan Upaya Mendatangkan Wisata ke Toba

28 September 2022   15:28 Diperbarui: 11 Oktober 2022   13:58 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panorama Danau Toba dilihat dari Meat, Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Selasa (27/09/22) saya dan seorang kawan pergi ke satu desa di Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba. Di sana, tanpa saya tahu tanpa saya dengar, sudah berdiri megah bangunan Monumen DI Panjaitan, pahlawan revolusi yang gugur pada malam 30 September 1965.

Menurut kawan yang bersama saya, Desman Boys, bangunan yang selesai tahun 2021 itu mulai dibangun 2019. Monumen setinggi 8 meter dikelilingi area semacam plaza seluas 2000 meter. Serba terbuka, dikelilingi kebun dan sawah, dan lebih ke belakang, bebukitan hijau yang merupakan bagian dari rangkaian Bukit Barisan, sampai ke Sumatera Barat.

Di bawah monumen, memanfaatkan kontur tanah yang lebih rendah, ada ruang yang tak begitu luas, bakal museum berisi informasi sekitar Sang Jenderal. Kamar kecil dibuat berstandar internasional, dan satu ruang untuk kaum disabilitas, menjelaskan keseriusan membangun tempat untuk dikunjungi masyarakat luas.

Bagi saya ini luar biasa. Museum di tengah dusun menggambarkan sebuah adab. Memang lokasi tak jauh dari kompleks kediaman keluarga Pahlawan Revolusi ini. 

Artinya, mudah dalam jangkauan dan tempuhan. Keluarga besar selalu pulang kampung, dan kerabat mereka bisa berkunjung ke Monumen, sembari mudik.

Saya khawatir warga desa belum siap dengan fasilitas bagus ini, kata kawan saya. Dia mengatakan sering warga desa, karena tidak tahu cara mengoperasikan sesuatu -katakanlah keran di kamar kecil, lalu memaksakan pemakaian, yang berakhir pada pengrusakan fasilitas, dalam waktu tidak lama.

Ah, bangsa kita, di banyak wilayah di seluruh Nusantara, kota besar kota kecil, kan punya masalah yang mirip-mirip. Kita mampu membangun, tapi tidak sanggup memelihara. Buang sampah di tempatnya, pelihara rumput, jangan mencoret tembok, harus terus menerus disuarakan, kalau tidak kita lupa. Begitulah kita.

Dengan kenyataan itu, tidak berarti kita tidak membangun hal baru, kan?

Balige, sebagai ibu kota kabupaten, sedang terus membangun demi mengejar ketinggalan, meski beberapa adalah membangun proyek-proyek dalam rangka mendukung pemerintah dalam program menjadikan Danau Toba sebagai wilayah Super Prioritas.

Di Balige sudah ada satu Museum. Toko buku, ruang seni dan kreatif, pusat informasi belum banyak untuk mengatakan hampir tidak ada. Sementara, dalam tiga tahun terakhir, saya melihat pembangunan hotel, restoran, homestay, pelabuhan, jalan bebas hambatan. Di Balige seperti, sebulan tidak melintasi satu area, tiba-tiba ada hotel baru. Resto baru. Ini mengejutkan. Seperti cerita Monumen di atas.

Sesungguhnya kota ini yang sekitar 30 menit berkendara dari Bandara Silangit atau 6 jam dari Medan, punya banyak cerita sukses di masa lalu.

Setelah Perang Batak (1878-1907), yang ditandai mangkatnya Sisingamangaraja XII di medan perang, Belanda menjadikan Balige sebagai Onderafdeling (kawedanan dipimpin wedana orang Belanda yang disebut Kontroleur) Toba, di bawah Afdeling (kabupaten) Bataklander.

Secara geopolitik dan geoekonomi, Belanda memandang kota ini sangat strategis hingga menjadikannya markas untuk memobilisasi militer dan logistik ke seluruh Tano Batak. 

Pada tahun 1917-1920, dibangun jalan raya yang menghubungkan pantai timur dan barat Sumatera bagian utara. Lintasan baru memunculkan perusahaan-perusahaan transportasi darat, salah satunya perusahaan otobus Sibual-buali, yang sangat populer masa itu.

Belum lagi bangunan untuk fasilitas pendidikan (sekolah), kesehatan (rumah sakit), keagamaan (gereja), ekonomi (bank, onan, pabrik), hiburan (bioskop, lapangan sepakbola), politik dan pemerintahan (tangsi militer dan pos pengamatan). Semua ada di Balige dan masing-masing punya cerits sukses sendiri.

Belanda menjadikan kota sebagai pusat pendidikan dengan mendirikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) -pendidikan dasar setara sekolah dasar. Anak-anak kepala nagari di seluruh kawasan danau Toba diamanatkan untuk bersekolah di sana.

Zendeling RMG, badan misionaris Jerman, mendirikan rumah sakit dan sekolah perawat, yang pelayanannya masyhur hingga ke luar pulau dan negeri, sampai tahun 70-an. Zendeling juga membang gereja HKBP pertama di Balige, sekolah tinggi Bible Vrouw di Laguboti, Bank partikelir didirikan sebagai respons atas menggeliatnya ekonomi kota. Kegiatan industri tenun yang massif, yang dimulai tahun 40-an, mengantarkan Balige menjadi pusat tekstil kedua terbesar di Indonesia setelah Majalaya. Industri tekstil ini juga melahirkan konglomerat bumi putera TD Pardede, yang menjadi distributor benang dan cat. Balige tahun 50-an sudah ada bioskop, juga klub-klub sepakbola. 

Namun, bila berkunjung ke Balige, apalagi bagi mereka yang baru pertama tiba di kota, cukup sulit untuk mendapat informasi kota secara cepat dan mudah. Tidak ada pusat informasi untuk diakses. Tidak ada petunjuk informasi turis, pergi ke lokasi-lokasi wisata, kuliner, hiburan, atau sekadar duduk di toko buku atau perpustakaan. Untuk berkunjung ke satu kilang, pabrik tenun misalnya, untuk membuktikan dulu ada industri tenun di kota ini, tidak ada akses.

Transportasi? Meski ini bagian penting, ada informasi rental kendaraan namun ongkos yang lebih sering ditentukan oleh pemilik rental. Itu cukup untuk menciptakan semacam keraguan dalam memakai jasanya. Pengemudi becak di dalam kota pun tidak cukup dibekali informasi untuk mengantar pengunjung ke tempat-tempat strategis kota.

Teman saya dari Yogya berlibur seminggu ke Toba, dan berkata, kalau tidak ada teman di Toba, dia tidak cukup yakin untuk pergi. Terlalu riskan bila informasi kurang. Apa saja yang bisa dikunjungi selama tiga atau empat hari di kota misalnya, dia tidak bisa dapatkan informasi itu. Padahal, setiap hari setiap saat, pemerintah mengumumkan telah melakukan ini dan itu, untuk tujuan sebanyak mungkin dikunjungi turis.

Dalam kasus saya di atas, kecuali saya tidak ada undangan datang ke desa Lumban Tor, mungkin saya tidak tahu Monumen DI Panjaitan sudah berdiri di sana, meski tempat itu memang belum diresmikan. 

28/09/22

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun