Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gomer

21 September 2022   06:07 Diperbarui: 21 September 2022   06:30 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MUSIM semi yang cerah. Bebungaan warna-warni masih mendongak ke arah matahari meski sinarnya bersiap turun. Udara hangat. Samaria memang selalu  menawan di segala musim. 

Orang berlalu-lalang di jalanan, mengukur langkahnya sendiri. Di pasar, penjual dan pembeli tawar-menawar penuh semangat. Anak-anak serius bermain. Tangan perempuan-perempuan lincah menarik kain-kain mereka yang kering.  

Seorang rabi tampak melintas. Jubah longgarnya yang kelabu diikat pada bagian pinggang. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Senyumnya melebar kepada setiap orang yang melihat dan dilihatnya. Ibu-ibu dan gadis-gadis muda tersenyum kepadanya, lalu mengangguk sopan. 

Anak-anak  meneriakkan namanya, takkan berhenti sebelum ia mengangkat tangan ke arah mereka, seolah menjawab, ya, ya aku tahu kalian di sana. Wajahnya begitu akrab di antara penduduk kota karena kebiasaan blusukan-nya. 

Tetapi ia bisa merasakan langkahnya canggung. Ia ragu dengan apa yang akan terjadi hari ini. Berulang kali ia memikirkan masalah itu tetapi selalu buntu. Namun saat ia mengingat lagi pernyataan ilahi dalam doanya, ia kembali tenang. 

Sekarang ia sudah tiba di depan satu bangunan, di ujung kota. Bangunan tempat laki-laki dewasa menyelesaikan hasratnya. Ia seperti bermimpi ketika kakinya menaiki tangga ke lantai dua, lokasi terjadinya transaksi. 

Dua laki-laki sudah menunggu di sana. Yang satu duduk, yang lain berdiri memandang ke luar jendela. Keduanya menoleh untuk melihat siapa yang datang, lalu saat itu pula dahi mereka berkernyit dan sorot mata mereka bertanya-tanya. Mereka adalah pendatang karena Rabi itu tidak mengenali mereka.   

Rabi itu duduk setelah memberi anggukan ringan kepada dua laki-laki itu. Ia berusaha santai dengan mengingat lagi arti gomer: lengkap, kue kismis, bara api. Bagaimana satu kata bisa mempunyai banyak makna berbeda, pikirnya aneh. 

Wajah Rabi itu bulat tak berlekuk. Janggut hitamnya lebat, menutupi setengah pipi sampai dagu dan atas bibir. Ia melihat kedua janggut di depannya, rapi dan dibentuk hati-hati oleh pisau tajam, diolesi minyak damar serai wangi. Pejabat, desisnya. Tentu saja. Siapa yang mempunyai uang lebih untuk kesenangan di bawah perut? 

Tiga puluh menit berlalu. Tak ada yang berubah. Apa yang dilakukan di dalam sana sehingga terlalu lama? Apakah layanan dua babak? Begitu khusyuknyakah sehingga hening? 

Lalu terdengar batuk kecil. Satu dari dua lelaki itu tiba-tiba melompat. Seorang lelaki penuh semangat keluar dari tirai marun dan laki-laki yang melompat tadi menghambur masuk. Tirai bergoyang tetapi cepat kembali karena kedua ujungnya diganduli gulungan benang.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun