Dalam istilah reproduksi misalnya, mati adalah mandul, impoten, lemah syahwat, dll. Dalam ilmu bedah, mati artinya baal, mati rasa.
Mungkin kita perlu membagi dua kelompok di sini. Mereka yang memakai kata mati sebagai sebuah realitas dalam hidup. Dan mereka yang menganggap mati adalah satu isu yang perlu didefinisikan dengan sebuah cara.
Ada orang berpendapat, kata mati dipakai untuk orang yang tidak kita kenal. Kata meninggal untuk orang yang dekat dengan kita. Â
Kembali ke pernyataan resmi di atas, Pangeran Charles tidak memakai kata passed away meski orang itu adalah ibunya sendiri. Seperti kata teman saya, itu dokumen resmi. Yang memerlukan ketepatan arti (precision), bukan malah mengaburkan.
Sama halnya bahasa media. Dunia jurnalistik biasanya memakai bahasa langsung (direct languge) yang sederhana (simplicity), ringkas (brevity), akurat (precision), kewajaran (fairness), tidak samar (unambigious).Â
Itu dimaksudkan agar setiap kalimat tidak malah menciptakan tanya-tanya dalam benak pembaca atau pemirsa.
Dan, para pemeluk agama punya istilah khusus untuk kata mati. Orang Kristen mengatakan pulang ke rumah Bapa. Kaum Muslim berkata innalillahi wa inna ilaihi rajiun, atau sesungguhnya kita milik Allah dan semuanya akan kembali pada Allah.
Sebelum Ibu Ratu, Reza Gunawan, seorang guru terapi holistik, meninggal. Dewi Lestari, istrinya yang penulis, menulis kematian suaminya dengan kata-kata: I am home.Â
I am free, in the here and in the now. Ungkapan yang menenangkan. Keluarga atau siapa pun yang membacanya akan merasa ringan. Kematian adalah perjalanan kehidupan yang indah.
Jadi, kita boleh saja memakai kata berpulang atau tutup usia atau apa pun untuk Ratu Elizabeth sebagai bentuk penghormatan atau keakraban. Tergantung kita ingin mencipta suasana seperti apa kematiannya.Â
Terima kasih dan selamat jalan, Ratu Elizabeth. (is/10/09/22)