Mohon tunggu...
Noverita Hapsari
Noverita Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Fun and Fine

Seorang Kompasioner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selamat Tinggal, Nopol Cantikku... (4-Tamat)

23 Desember 2021   14:37 Diperbarui: 23 Desember 2021   14:40 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Sang waktu adalah tabib ajaib yang dapat menyembuhkan hampir segala luka hati. Terbukti, perasaanku berangsur membaik, seiring berjalannya masa. Hari-hari ini aku lebih banyak bersenandung.

          Di penghujung bulan September, kuputuskan mengunjungi sahabat lamaku, Dila. Ia yang paling terakhir namun juga yang paling wajib menjadi tempat curhat-ku. Tak heran, ia jugalah yang paling gencar dan tak lelah untuk mengajakku kembali ke bangku kuliah, menyelesaikannya, yang kemudian menerapkan ilmu, alias bekerja di dunia nyata, alih-alih menenggelamkan diri ke dalam emosi tak tentu arah.

         Kedatanganku disambut Dila dengan pelukan hangat dan ekspresi bersemangat. Bibi Rus, asisten rumah tangga yang sudah bekerja cukup lama pada keluarga Dila, bahkan ikut menyalamiku, walau sambil mengempit kemoceng.

         Aku dan sobatku itu mulai berbincang ramai, menepis rindu, saling menyebarkan rasa suka ria yang tidak disembunyi-sembunyikan.

          Membutuhkan udara segar, aku dan Dila memutuskan untuk keluar untuk berkendara sebentar, sekalian mencari kebutuhan Dila ke toko buku.

          Mobil Dila melaju, berbaur sigap dengan kendaraan lainnya. Saat lampu merah, di satu jalan utama yang paling ramai kurasa, orang-orang menyeberangi zebra cross di depan kami dengan bergegas, tanpa mengindahkan satu sama lainnya. Begitu sibuk.

      Perhatianku tertuju pada para pejalan kaki yang bergerak di sepanjang jalur pedestrian. Mereka mengenakan masker berwarna-warni dengan model beragam, dan juga gerakan mereka tampak seragam. Semua kelihatan normal saja, walau aku yakin jauh di lubuk hati mereka memiliki problematika kehidupan masing-masing.

       Sambil menyetir, Dila bercerita panjang lebar mengenai situasi terkini kampus kami.

        Di suatu putaran jalan berbentuk U, mobil-mobil merapat tersendat, Dina mengulurkan selembar uang dua ribuan, memberikannya pada 'pak ogah' dengan pamrih agar mobil kami dipandu dan dibukakan jalan, lepas dari kemacetan.

"Kau tahu, apa yang ia cari?" tanya Dila sambil menganggukkan dagunya ke arah pak ogah tersebut. "Ia dan teman-temannya mencari sesuap nasi, makanan... sebagai kebutuhan primer. Sedangkan kamu sekarang cengeng, tenggelam dalam kesedihan, menangisi apa.. nopol cantik?" ujar Dina dengan nada tinggi, setengah bercanda, namun membersitkan sindiran pedas padaku. Seruannya itu menderingkan lonceng alarm rasaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun