Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjalanan Pulang Atok

16 Januari 2015   22:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:00 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara sepatu laras panjang itu, tak…tuk, tak tuk. Mengejutkan mbok Yus, sekaligus membuat jantungnya seakan akan copot. Hilir mudik, hilir mudik. Satu-satu teman gelandangannya dipanggil dan dibawa ke ruangan yang lain. tepatnya diseret, bukan dibawa. Tak..tuk, jantung Yus makin berdegup. Semakin kaget lagi, mendengar jeritan suara teman-teman yang diseret ke ruang interogasi.

Ruang Satpol PP itu, memang bagian yang menakutkan bagi para gelandangan. Tak jarang mereka mendapat perlakuan kasar. Dihinakan, direndahkan, dikasari bahkan bagi sebagian gelandangan muda yang wanita, ada juga yang dilecehkan. Satu-satu dibawa ke dalam, satu-satu jumlah yang berada diruang tunggu berkurang. Mbok Yus belum juga dapat giliran. Hatinya makin kecut aja. Membayangkan perlakuan yang bakal diterimanya. Lalu, setelah melewati pemeriksaan panjang, Mbok Yus akan diantar ke Panti Rehabilitasi Sosial.

Membayangkan akan diantar ke Panti Rehabilitasi Sosial, hati Mbok Yus makin ciut saja. Mbok Yus tidak memikirkan dirinya sendiri. Tapi, bagaimana dengan Atok? Lelaki tua itu, kini sedang berbaring sakit di gubuknya, gubuk Mbok Yus dan Atok. Di balik tumpukan sampah, pada TPA* di kotanya. Kini saja, Mbok Yus sudah gelisah memikirkan Atok dengan sakitnya, bagaimana pula nanti, jika dia harus diantar ke Panti Rehabilitasi Sosial? Untuk lari dari ruangan ini, rasanya tak mungkin. Pasti Mbok Yus akan tertangkap. Tembok yang mengelilingi ruang ini begitu tinggi. Belum lagi, ruangan ini, berada di tengah, sebelum dia sampai di pintu gerbang, tentu, sudah tertangkap.

Tak..tok, sepatu laras panjang itu, melangkah ke arah Mbo Yus.Mbok Yus makin pucat saja, ya Allah… inilah akhir dari segalanya. Mula-mula suara bentakan dan mereka mencatat sesuatu, lalu dinaikan mobil besar dan tiba di Panti Rehabilitasi Sosial. Di sanalah Mbok Yus untuk waktu yang tak ditentukan. Tinggallah Atok sendiri di gubuk mereka, menahankan rasa sakit dan lapar sendiri, bahkan mungkin,meregang nyawa sendiri pula.

“Mbok… bangun” suara petugas itu begitu dekat di telinganya. Menyuruh Mbok Yus bangun. Sebenarnya, Mbok Yus tidak tidur, hanya menutup mata, tak kuat membayangkan apa yang akan terjadi pada Atok jika dia telat pulang, apalagi jika dia harus dibawa ke Panti Rehabilitasi Sosial.

“Iya,, pak” jawab Mbok Yus, membuka mata. Dia menggeser duduknya, menjauh dari petugas satpo PP itu, ada getar suara yang menandakan ketakutan Mbok Yus.

“Mbok .. Jangan takut ya. Mbok akan saya bawa ke ruang pimpinan, mari Mbok” kata petugas itu lagi. Perlakuannya sungguh berbeda dengan yang dibayangkan Mbok Yus. Lembut dan penuh rasa hormat pada orang tua.

Mbok Yus berdiri, berjalan tertatih di belakang petugas. Arahnya, tak sama dengan teman-temannya.Tapi, berbelok ke kanan, kearah ruang pimpinan Satpol PP. Ada apa ini? mengapa aku dibedakan? Mungkinkah hukuman yang akan kuterima akan jauh lebih berat dibanding dengan teman-teman. Begitu tanya Mok Yus dalam hati.

*****

“Silahkan duduk Mbok” kata pimpinan itu ramah. Dari sudut matanya, mbok Yus bisa membaca namanya Sumpeno.

“saya disini aja pak” jawab Mbok Yus lagi. Sambil duduk di lantai, disebelah kursi tamu yang tersedia di ruang pimpinan itu. Rasanya, tak pantas dia duduk disitu. Bagaimana jika kursi itu kotor, terkena bajunya.

“Mari.. Mbok” kata Peno lagi, menghampiri Mbok Yus dan membimbingnya untuk duduk di kursi tamu. Mbok Yus berdiri, mengikuti kemana arah Peno mendudukannya di kursi pada ruang pimpinan yang sejuk ber AC itu.

Sementara Mbok Yus duduk, Peno berjalan kemejanya, dia mengeluarkan sebuah foto berukuran 10R, lalu berjalan ke tempat duduk di ruang tamu, dimana Mbok Yus duduk.

“Mbok kenal dengan lelaki di foto ini?” tanya Peno, sambil memperlihatkan foto yang tadi dia ambil dari laci mejanya. MasyaAllah, itu adalah foto dirinya dengan Atok. Dimana pak Peno dapat itu, lalu mengapa dia bertanya kenal atau tidak? Apa yang akan pak Peno perbuat terhadap Atok. Tanya Mbok Yus dalam hati.

“Bagaimana Mbok? Mbok kenalkan?” tanya Peno lagi, suaranya lembut, tak ada nada marah, tak ada bentakan. Bagaimana aku bisa berbohong, pura-pura tak kenal. Sementara wanita yang disebelah Atok adalah aku, begitu bathin Mbok Yus.

“iya pak… saya kenal” jawab Mbok Yus. Singkat, gejolak dihatinya makin tak karuan, bagaimana ini selanjutnya?

“Alhamdulillah…Mbok juga tahu tempat tinggalnya?” tanya Peno lagi. Duh...! bencana apalagi ini yang akan terjadi? Tapi, berbohong juga bukan jalan terbaik, dia dan Atok hidup bersama, lalu bagaimana mungkin, mengatakan kalau dia tidak tahu tempat tinggal lelaki tua yang hidup bersamanya itu. Bathin Mbok Yus lagi.

“Alhamdulillah…. Semoga kali ini gak salah lagi” kata Peno lagi. Kalimat yang terakhir ini, Mbok Yus gak paham. Apa artinya gak salah lagi.

“Tetapi…” kata Mbok Yus. kalimatnya belum selesai. Dia ingin mengatakan bahwa lelaki itu, kini sedang terbujur sakit di gubuknya.

“Begini aja Mbok, Mbok makan dulu aja, pasti Mbok belum makan kan? Setelah Mbok makan, kita ke tempat laki-laki itu” kata Peno lagi.

Lalu Peno, memanggil anak buahnya untuk membeli nasi rames, pada warung Padang yang ada dekat kantor itu.

Sementara, Mbok Yus menunggu anak buah Peno membeli nasi Padang, Peno kembali ke Mejanya. meneruskan pekerjaannya.

*****

Perjalanan Mbok Yus dan Peno, sudah memasuki batas kota, Mbok Yus,menunjukan arah, belok ke kiri. Itu artinya, menuju tempat TPA. Jarak untuk tiba disana, kira-kira enam belas kilo meter lagi.

Awalnya Mbok Yus, rada risih dan takut duduk di sebelah Peno, risih karena kendaraan itu, sungguh terlihat mewah. Takut, kalau akan terjadi apa-apa pada Atok dengan kedatangan Peno. Tapi, sikap Peno yang sopan, pelan-pelan menghilangkan rasa takut itu.

“Sudah lama kenal sama pak Atok, Mbok?” tanya Peno, matanya tetap ke depan, berusaha menjaga mobil agar jangan lubang, jalanan sudah mulai banyak lubang disana-sini.

“Sejak tahun 1992 pak” jawab Mbok Yus. Wah.. mulai ngorek-ngorek nih, bathin Mbok Yus.

“Tinggal di tempat sekarang sudah lama Mbok?” tanya Peno lagi.

“Baru setahun pak” jawab Mbok Yus lagi.

“Oooo…pantesan” kata Peno lirih, hampir tak terdengar. Kalau saja Mbok Yus sedang tidak melihat Peno, tentunya Mbok Yus tak akan mendengar.

“Maksudnya gimana pak” tanya Mbok Yus, penasaran. Apa maksud kalimat pantesan itu.

“Lebih setahun lalu, saya pernah mencari pak Atok, ditempatnya sesuai petunjuk orang yang memberikan foto itu, tapi waktu itu, beliau sudah tak ada disitu lagi” jelas Peno pada Mbok Yus.

“oooo…jadi bapak dapat foto itu dari Mas Ferry ya?”

“Bener Mbok, dia wartawan yang mewawancara Mbok dulu” terang Peno. Kini, jelaslah, dari mana Peno dapat foto Mbok Yus dan Atok. Tapi siapakah Peno ini? Mengapa dia sangat berkepentingan dengan Atok? Apakah Atok penah punya masalah dengan Peno? Pernah menipunya atau berhutang? Setahu Mbok Yus. Atok selalu bersamanya, sejak mereka pergi dari Surabaya tahun 1992 dulu.

“Kalo Mbok Yus gak keberatan dan percaya sama saya, tolong ceritakan tentang Atok itu Mbok. Percayalah, saya tak akan menyakiti Mbok, begitu juga ngan pak Atok” kalimat itu, terdengar begitu memelas, hingga meluruhkan hati Mbok Yus. Ada kejujuran pada nada suara itu. Rasa curiganya hilang, berganti iba.

****

Mbok bukanlah wanita-wanita baik-baik Pak. Waktu itu, Mbok bekerja di diskotik Mawar didaerah Jembatan Merah, Surabaya. Mbok melayani semua lelaki yang datang. Salah satu pelanggan Mbok, Pak Atok itu. Orangnya sopan, perlente dan tidak kasar. Di diskotik itu, banyak ABG. Tapi, pak Atok selalu memilih Mbok. Sadar usia Mbok sudah STW*, maka satu-satunya modal yang dapat Mbok andalkan, pelayanan prima pada para tamu. Mbok melayani tamu, sesempurna yang dapat Mbok lakukan. Entah karena pelayanan itu, entah karena frekwensi pertemuan kami yang intens. Akhirnya Pak Atok menyatakan cintanya pada Mbok.

Malam itu, Mbok masih ingat. Malam kamis. Pak Atok datang agak larut. Wajahnya tak seperti biasa. Terlihat tegang dan serius. Pak Atok, memberitahukan pada Mbok, kalau dia serius ingin menghabiskan sisa usianya bersama Mbok. Mbok tak diperkenankan bekerja lagi, khususnya di Diskotik. Pak Atok berencana membawa Mbok ke Jakarta malam itu. Di Jakarta kelak “kita akan menghabiskan sisa usia kita berdua” begitu kata pak Atok.

Wanita mana yang tak tersanjung di lamar lelaki Pak? Apalagi wanita STW seperti Mbok, wanita yang berprofesi sebagai sampah Masyarakat. Dengan sepenuh hati, Mbok terima tawaran itu. Kami bersumpah, untuk saling setia, saling mendukung, hingga ajal kelak yang memisahkan. Meski, tanpa sumpah itupun, Mbok telah berbulat tekad, berbhakti pada lelaki yang telah berjasa mengeluarkan Mbok dari jurang kenistaan itu.

Ketika Diskotik Mawar itu, tutup jam tiga pagi, kami berdua keluar. Mengucapkan selamat tinggal pada dunia lama, bertekad sepenuhnya menyongsong dunia baru, dunia yang hanya setia pada satu pasangan. Mobilpun hidup, perlahan-lahan bergerak, meninggalkan daerah Jembatan Merah, menuju arah luar kota, meninggalkan Surabaya.Meninggalkan masa lalu kelam untuk masuk pada masa depan yang lebih cerah. Meskipun, Mbok tak tahu apa yang akan kami perbuat. Tapi, berjalan dengan orang yang sangat mencintai kita, apa yang perlu dirisaukan?

Tapi, itulah perjalanan hidup, tak selamanya indah, dibalik kebaikan yang dimiliki pak Atok, ternyata pak Atok, banyak punya kelemahan. Beliau peminum berat, bukan pekerja tangguh, dan yang lebih mengenaskan, mobil dan segala yang kami miliki itu. Ternyata, hanya harta warisan yang mestinya dia berikan dan nikmati bersama anak istrinya di Malang.

Setelah dua puluh dua tahun usia pernkahan kami. Beginilah kenyataan yang kami hadapi. Kami hanyalah dua orang gelandangan tua. Tanpa keturunan. Tinggal di rumah kardus, pada tumpukan sampah di TPA. Dan yang miris lagi, kini pak tua Atok itu, sedang sakit parah di rumah Kardus kami.

Begitulah cerita Mbok Yus pada Peno. Jalan di muka mobil mereka makin parah. Kini bukan hanya lubang, tetapi sudah nyaris berbentuk kubangan. Mobil terguncang-guncang dengan hebatnya.

“Bolehkah saya minta permohonan Mbok?” tiba-tiba Peno bicara, setelah sekian lama hanya diam mendengarkan Mbok Yus cerita.

“Tentu pak, apakah itu” tanya mbok Yus lagi.

“Ijinkan saya memanggil Mbok dengan Ibu, dan jangan panggil saya bapak. Cukup dengan Peno saja, Bu” ada getar suara melankolis pada nada suara Peno.

“Mengapa bisa begitu?” tanya Mbok Yus, tak mengerti.

“Pak Atok itu, Ayah saya Bu. Terima kasih Ibu sudah menjaganya selama 22 tahun ini”

“Okh… MasyaAllah, Ibu sudah berbuat jahat pada nak Peno. Merebut Pak Atok dari Ibu nak Peno dan nak Peno” kata Mbok Yus lagi.

“Tidak bu. Semua itu memang sudah seharusnya begitu. Ibu meninggal 5 tahun setelah ayah pergi. Kini yang tinggal, hanya Ibu Yus dan Ayah Atok” kata Peno lagi, getar suara itu, raut wajah itu. Menggambarkan suasana haru yang sangat.

Tiba-tiba mobil yang dikemudikan Peno berhenti. Peno memandang Mbok Yus. Mbok Yus memandang Peno. Keduanya, saling berpandangan. Dengan sekali rengkuh, keduanya sudah saling berpelukan. Ada tangis yang mengiringinya, ada air mata yang tertumpah. Yang terlihat diluar, jelas pelukan antara seorang wanita gelandangan tua dan seorang kepala satpol PP. Tapi sesungguhnya yang terjadi, peluk bahagia antara seorang anak yang meindukan orang tua dan tangis orang tua yang merasa bersalah dengan segala perilaku masa lalunya.

*****

Suasana dalam ruangan ukuran 2 x 3m itu, sungguh krodit. Tumpukan kardus disana-sini, tinggi atap gubugnya hanya sekita 1.5 meter, tak cukup untuk berdiri tegak orang dewasa. Pada sudut pojok sebelah utara, terbujur lelaki tua yang kurus kering, dimakan usia, digerogoti racun miras dan virus penyakit.

Peno tak menyangka, beginilah kondisi orang yang dirindukannya selama ini. oang yang telah berjasa membawanya ke alam dunia, sekaligus yang telah menyebabkan kehidupan ibu dan dirinya sengsara. Meski, begitu, semua marah dan dendam itu, seakan sirna terkalahkan dengan Iba dan rindu karena pertalian darah diantara mereka. Sementara Mbok Yus, mematung dibalik punggung Peno menyaksikan kejadian yang tiba-tiba dan diluar perkiraannya.

“Ayah…..” suara dan pelukan Peno menghambur pada sosok tua lemah itu.

Atok membuka matanya, adabinardimata itu, tak jelas artinya, apakah sedih, gembira, menyesal, malu atau apa? Atau kombinasi dari semua itu.

“Ini Peno Ayah… Ayah masih ingat kan?”

Kembali Atok membuka mata, ada rengkuhan tangan agak kuat, terasa pada punggung Peno, untuk kemudian melemah dan mata tua itu kembali tertutup.

Peno tahu, itulah rengkuhan terakhir Ayahnya, itulah tatapan mata terakhir Ayahnya. Bagai lampu minyak teplok, sebelum sinarnya padam, biasanya akan membesar sebentar, lalu padam untuk selamanya. Itulah yang terjadi pada Atok. Ayahnya.

*****

Jam telah menunjukan pukul dua dinihari, sore tadi, jenazah Atok telah tiba di RSCM, dengan tujuan untuk dilakukan visum dokter. Namun,  dengan segala data dan jabatan yang disandang Peno. Jenazah Atok tak jadi di visum.

Pihak RSCM telah membekali segala surat-menyurat administrasi yang dibutuhkan untuk pemakaman Atok di Malang. Semuanya sudah lengkap.

Perlahan-lahan Ambulance meninggalkan halaman RSCM.  Masuk  jalan  Dipenogoro, untuk selanjutnya berbelok ke kanan, melewati depan RS Saint Carolus untuk selanjutnya  menuju Malang, tempat dimana  jenazah yang berada dalamAmbulance itu berasal.

Inilah perjalanan pulang Atok, setelah 22 tahun meninggalkan Surabaya. Janjinya pada Mbok Yus telah dia penuhi, untuk menghabiskan sisa usia bersama, hingga kelak ajal yang memisahkan keduanya. Janji Yus pada Atok pun telah dia penuhi, mengabdikan seluruh sisa hidupnya pada Atok. Di Ambulance itu. Yus tetap setia menemani Atok, menghantarkan sang lelaki pujaan itu, hingga liang lahat. Tempat peristirahatannya terakhir.Sepahit apapun kehidupan yang mereka habiskan, Atok telah berjasa mengangkatnya dari lembah hina, memberinya kebahagiaan dan arti kesetiaan pada satu pasangan.

Keterangan:

TPA. = Tempat Pembuangan sampah Akhir

STW= Istilah untuk wanita paruh baya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun