Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Adoh Ko Watu, Cerak Ko Ratu

10 Oktober 2016   20:58 Diperbarui: 10 Oktober 2016   21:03 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manusia memiliki kebebasan memilih area, apakah Area Batu atau Ratu (dok.Pribadi)

Kata-kata diatas adalah pribahasa Jawa lama. Artinya, jauh dari batu, dekat pada Ratu. Lengkapnya pribahasa itu adalah,.. Adoh ko Watu, cerak ko Ratu. Adoh ko Ratu, cerak ko watu. Artinya, jika kita menjauh dari batu, maka kita akan mendekat pada Ratu. Demikian pula sebaliknya, jika menjauh dari Ratu, maka otomatis akan mendekat pada Batu.

Ratu dan Batu diposisikan pada dua kutub yang berseberangan. Utara-Selatan atau Timur-Barat. Diantara dua kutub yang berseberangan itu, manusia berada. Manusia, memiliki kebebasan mutlak untuk memilih apakah akan mendekat pada kutub Ratu atau kutub Batu. Jika, pilihannya mendekat pada kutub Ratu, maka akibat logisnya, akan menjauhi dari  kutub Batu. Demikian juga sebaliknya. Ketika pilihan mendekat pada kutub Batu, maka akibatnya, akan menjauhi kutub Ratu. Tidak bisa memilih kedua kutub untuk didekati dalam waktu bersamaan. Pilihan hanya satu diantara dua kutub. Ratu atau Batu.

Ratu dilambangkan sebagai symbol kebaikan dan Watu dilambangkan sebagai symbol keburukan. Manusia berada diantara kedua kondisi itu, dengan kebebasan untuk memilih ke symbol mana mau mendekat.

Kebaikan dan keburukan merupakan output dari peribadatan yang dilakukan manusia pada Tuhannya. Apapun agamanya.

Jika manusia yang dikenal sebagai pribadi yang taat, beribadah pada Tuhannya, tetapi memiliki perilaku yang tidak baik pada sesama manusia, maka peribadatan yang dilakukan, perlu dipertanyakan. Ada yang salah dalam peribadatanya, atau ada yang salah dalam penafsiran terhadap peribadatan yang dilakukannya, atau bisa juga, ada yang salah dalam kepribadian yang bersangkutan.

Lima Agama yang ada di Indonesia, memiliki perbedaannya sendiri. Semua kita tahu. Tetapi, mereka miliki satu persamaan yang dapat merekatkannya. Apa itu? Itulah kebaikan atau keburukan.

Kebaikan dan keburukan, bukanlah sopan santun. Sopan santun, bersifat lokal dan temporary.  Apa yang disebut sopan dalam masyarakat Solo misalnya, dapat saja dikonotasikan sebagai sifat lemah bagi masyarakat Batak. Apa yang disebut hal-hal biasa bagi orang Batak, bisa dikonotasikan kurang ajar bagi orang Sunda. Tetapi, dalam soal buruk dan baik, semua kita sepakat. Inilah yang dalam bahasa agama Islam disebut dengan akhlak. 

Apa saja contoh akhlak itu? Contoh baik itu? Yang semua penganut agama sepakat di dalamnya. Sebut saja, misalnya. Berlaku baik dan sopan pada orang tua. Berlaku baik pada saudara, pada tetangga, pada masyarakat disekitar, masyarakat se-kampung, masyarakat se-kabupaten, dan masyarakat se-negara. Menjadikan orang lain, nyaman berada di dekat kita, karena perilaku kita yang tidak usil, tidak mengganggu kepentingan dan kenyaman mereka, baik oleh tangan kita yang usil atau mulut kita yang usil. Mengasihi mereka yang lebih muda dari kita, lebih rendah soal kepemilikan materi dari kita, lebih rendah status sosial dari kita.

Ketika kita berada pada perilaku buruk, maka kita telah memilih untuk memposisikan diri pada area antara nol dan minus seratus. Derajad keburukan itu ditandai dengan angka minus. Sehingga ketika keburukan itu sempurna kita lakukan, kita berada pada angka minus seratus. Demikian pula sebaliknya, ketika derajad kebaikan itu sempurna kita lakukan maka kita berada pada angka plus seratus

Usia tak menghalangi untuk berusaha tetap berada pada daerah Ratu (dok.Pribadi)
Usia tak menghalangi untuk berusaha tetap berada pada daerah Ratu (dok.Pribadi)
Saya tak ingin mengatakan tentang hukum karma, tetapi hanya ingin mengatakan, bahwa semuanya sebagai konsekwensi, ketika kita memilih untuk berada pada area antara nol dan minus seratus atau berada pada area antara nol dan plus seratus.

Ilustrasinya begini. Ketika si A yang berada di daerah nol-minus seratus. Kita gambarkan sebagai orang yang sedang berkubang lumpur. Jika, si A mengkritik atau mengumpat atau usil tentang si B yang berada pada areal nol-Plus Seratus. Maka kita gambarkan, si A melemparkan lumpur pada si B. Reaksi yang diterima si B sungguh luar biasa. Lemparan lumpur yang diterimanya, dibalas dengan lemparan sebungkus nasi Rendang nan nikmat. Namun, apa yang diterima oleh si A?. Apakah si A menikmati nasi Rendang sebagaimana dibayangkan si B? Ternyata tidak. Si A menikmati nasi Rendang nan nikmat itu dengan aroma lumpur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun