Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malaikat di Hari Terakhir Ramadhan

19 Mei 2020   14:44 Diperbarui: 19 Mei 2020   14:42 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terik matahari siang itu, sempurna menyengat tubuh renta Firman. Makin terasa berat karena Firman sedang puasa. Pagi tadi Firman sahur dengan sepotong tempe yang harus dibagi dua dengan Maryam Istrinya. Ada memang sebutir telur, tetapi rasa sayang mengalahkan segalanya, termasuk kepentingan pribadi. Hatta hingga yang akan dimakan sekalipun. 

Aisyah baru delapan tahun, baru belajar mengerjakan puasa. Rasanya, sungguh egois jika memberikan Aisyah tempe yang sepotong itu. Biarlah dia mengalah dengan Maryam, agar Aisyah dapat menjalankan puasa dengan gembira. 

Lagi pula, dia dan Maryam sudah kenyang dengan kehidupan ini, mereka tak butuh pertumbuhan lagi, sedang Aisyah masih dalam pertumbuhan, masih lebih membutuhkan gizi untuk pertumbuhannya, guna menyongsong kehidupan yang masih terbentang luas di hadapannya kelak.

Sengatan Matahari itu, seakan menyempurnakan dera yang harus dipikul Firman, hingga sesiang ini, belum ada tanda-tanda rupiah akan singgah ke sakunya, padahal ini hari terakhir ramadhan, sejam lagi akan memasuki waktu Dzuhur, lalu enam jam kemudian, maghrib akan segera menjelang, setelah Maghrib ditunaikan, maka akan berkumandang deru takbir. Pertanda besok akan hari raya idhul fitri, hari kemenangan. 

Kemenangan iman terhadap nafsu angkara murka. Kemenangan akal sehat terhadap nafsu yang tak berkesudahan. Kemenangan kemanusiaan dan kasih sayang terhadap hidup egois dan kehidupan nafsi-nafsi yang tak memperdulikan pada sesama manusia.

Tapi apakah semua itu benar? Semuanya terasa kontradiksi dihadapan Firman. Yang jelas, inilah titik paling pahit yang dirasakannya. Boro-boro untuk membelikan Aisyah baju baru, membelikan Aisyah sandal baru, untuk berbuka sore nanti saja, dia tidak tahu akan berbuka pakai apa? Semuanya masih gelap. 

Tak seberkas titik terang yang terlihat oleh Firman, padahal cuaca udara sungguh cerah, terik, sinar Matahari mencorong dengan ganasnya, menyengat perih dikulit tuanya, tapi, bagi Firman semuanya gelap.

Sejak pagi tadi, dagangan yang dijajakannya belum satupun terjual, padahal inilah satu-satunya tempat Firman menggantungkan harapan, harapan untuk membeli beras, membeli penganan untuk berbuka, syukur-syukur bisa membelikan Aisyah baju dan sandal baru. Memang zaman sudah berubah, dijaman kini, siapa yang akan memakai gerabah lagi? 

Ibu-ibu lebih suka memakai alat masak dengan aluminium, bahkan hampir semua kini memakai steenless. Kalau bisa memakai yang praktis untuk apa memakai yang merepotkan. 

Kalau bisa menggunakan yang bersih untuk apa pula memakai yang kotor. Mana ada kini ibu-ibu yang memakai kayu bakar atau minyak tanah. Semuanya sudah beralih ke Gas Elpiji, tidak hanya di kota, tapi sudah merambah hingga ke desa-desa. Tempat dimana Firman kini tinggal.

******

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun