Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sepotong Kayu, Kau atau Aku

21 November 2018   19:33 Diperbarui: 21 November 2018   19:49 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah berapa lama kondisi ini, Bae tidak tahu. Kapal yang tadi dia nakhodai sudah tidak tampak sama sekali bekasnya, luluh lantak tidak menyisakan sedikitpun. Tandas ditelan laut. Kejadian yang sama sekali diluar dugaan.

Memang November adalah bulan dengan curah hujan cukup tinggi. Namun, sejak pagi cuaca begitu bersahabat. Sinar Matahari yang mengandung undangan hujan, tidak tampak sama sekali sejak pagi tadi. Bae hapal betul. Laut baginya, adalah kehidupan sehari-hari, seperti makan dan minum. Sejak dia lahir, semua sudah akrab dengan Bae. Bahkan, sebelum dia bisa berjalan, Bae sudah bisa berenang.

Bulan tampak diatas sana, dengan cahaya belum sempurna penuh. Tapi, cukup untuk menerangi lautan sekitarnya, maklum baru tanggal delapan bulan Komariah.

Sekali lagi, Bae melayangkan pandangan sekelilingnya, masih ada asa yang dia harapakan, sekecil apapun, yang bisa dia gunakan untuk memperpanjang waktu, sebelum bantuan tiba. Siapa tahu, tokh, sebelum ajal tiba, berpantang untuk mati.

Betapa terkejutnya Bae, tiga meter sebelah kirinya, ada sosok yang masih terapung. Dengan sepotong kayu, modal mempertahankan hidup, dia kayuh kayu itu, mendekati sosok yang terlihat terapung.

Oooh... ternyata sosok itu, Bayu. Sosok lelaki yang akan merenggut malaikat kecilnya. Mutiara. Mutiara yang sering dia panggil dengan Muti itu, jika sesuai rencana, akan menikah dengan Bayu lusa.

Dengan menepuk punduknya tiga kali pukulan dan menekan urat kejantanan pada empat jari di atas mata kaki Bayu. Bayu tersadar. Siuman dari pingsannya.

Kini, dua anak manusia itu, terapung-apung dipermukaan lautan bebas. Dimanakah posisi mereka kini? Bae tidak tahu persisnya. Bulan masih di atas sana, bulan setengah bulat dengan hitungan hari kedepalan.

Laut masih tenang, jika kondisi begitu terus. Maka, kayu yang tinggal sepotong itu. Dapat digunakan mereka berdua, hingga pagi menjelang. Bae, berdo'a, semoga kondisi laut, tetap tenang seperti sekarang. Hingga pagi menjelang.

"Terima kasih bang" ucap Bayu, pada Bae. Bayu, tak tahu persis siapa Bae. Calon suami Muti memang  bukan dari daerah mereka. Dia datang dari kota. Bae hanya tersenyum. Senyum yang entah terlihat atau tidak oleh Bayu, karena cahaya rembulan yang belum sempurna.

"Saya berhutang nyawa pada Abang" lanjut Bayu lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun