Mohon tunggu...
Iswan Heri
Iswan Heri Mohon Tunggu... Administrasi - Dreamer, writer, and an uncle

Traveller, Writer, Dreamer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Buku, Merawat Manusia

20 Maret 2016   23:47 Diperbarui: 21 Maret 2016   00:08 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber ilustrasi: dokumen pribadi"][/caption]Saya tidak tahu sejak kapan awal mula suka membaca buku. Seingat saya, saat kuliah dulu, saya tipikal orang yang tidak suka membaca buku. Membaca koran saja jarang, apalagi membaca buku yang tebal dan rumit itu. Saya memang kadang-kadang membaca koran, tapi itupun hanya sebatas seputar berita olahraga dan tentu saja jadwal pertandingan bola di televisi. Bagi saja, berita bola sudah cukup membahagiakan hati, tak peduli BBM naik atau ada warga kena gusur, urusan sepakbola harus tetap jalan.

Ini jelas sebuah ironi, mengingat saya adalah seorang anggota BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) pada saat itu. Tapi mau bagaimana lagi, saya adalah tipe orang yang tidak suka dipaksa dan tidak suka memaksa. Artinya, memaksa saya membaca buku jelas sebuah tindakan yang sia-sia belaka, sama halnya dengan memaksa saya mendengarkan nasyid dan berhenti mendengarkan lagu punk.

Beruntung, alergi saya terhadap buku tidak bertahan lama. Berkat persekongkolan elit BEM saat itu, tanpa sadar saya digiring untuk melahap buku demi buku. Hebatnya, saya melakukannya seolah tanpa sadar. Saya memang seorang pemalas akut kalau disuruh membaca buku, disisi lain saya sangat gemar berdiskusi dengan beragam tema.

Melihat titik lemah saya tersebut, mulailah konspirasi disusun. Saya ingat di sebuah siang di sekre BEM, saat saya sedang menikmati hari dan membaca artikel olahraga, seorang senior BEM mulai menjalankan aksinya. “Wan, kamu sudah baca artikel BBM hari ini? Coba baca headline koran hari ini. Terus, nanti kita ngobrol.”, ujarnya.

Mendengar hal tersebut, saya segera membuka halaman awal koran yang saya baca tersebut, dan langsung melahap berita seputar kenaikan BBM. Alasannya sederhana, sebagai bahan diskusi dengan senior tersebut. Sebagai penggemar diskusi yang militan, saya tidak mau ambil resiko kalah argumen dengan kakak kelas saya tersebut dan mati kutu dalam forum. Dari sinilah tragedi itu dimulai.  

Sedikit demi sedikit, tema artikel yang say abaca di koran mulai meluas. Saya yang sebelumnya punya kebiasaan membaca koran dari belakang,karena letak artikel olahraga di belakang, sedikit sedikit mulai melirik untuk membaca headline dan rubrik opini. Untuk memperdalam isu yang saya baca, pada akhirnya saya mulai membaca buku, entah itu dari hasil meminjam atau membeli sendiri.

Sekarang saya malah mulai merasa ketagihan membaca buku. Terkadang saya membeli beberapa buku, apalagi jika diskon, walaupun stok buku di rumah belum selesai. Entah kapan buku itu dibaca, yang penting beli dulu. Saya sekarang paham, bahwa setan penggoda iman manusia bukan hanya berwujud makhluk buruk rupa, tapi kadang berupa bazaar buku murah.

Yang Dibaca, Yang Dilarang

Tiap orang punya motif masing-masing atas aktivitasnya membaca buku. Ada yang karena “kecelakaan” seperti saya, ada yang karena tuntutan tugas, ada pula yang memang sedari dini gemar membaca buku. Pada akhirnya, saya mulai memahami pepatah bahwa buku adalah jendela dunia itu benar adanya.

Semisal dengan membaca buku yang bersifat ilmiah atau berupa riset penulis, kita dapat memahami aktivitas riset dan problematikanya serta mendapatkan kesimpulan akhir, tanpa kita sendiri yang harus meneliti. Hal yang sama berlaku untuk tulisan fiksi. Kita dapat “menikmati” petualangan si penulis ke berbagai daerah di penjuru dunia, tanpa harus keluar rumah.

Semua data dan imajinasi penulis, dapat kita tangkap tanpa harus kita sendiri yang melakukan riset atau berpetualang ke berbagai tempat, yang apabila kita lakukan akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Buku adalah kotak Pandora pengetahuan, asalkan kita mau benar-benar memahaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun