Nahas bagi saya, calon pendamping tidak lulus uji kualifikasi orang tua. Sebab tes bibit, bebet, bobot tidak terbabat olehnya.Â
Jadi, ya saya dijodohkan sana-sini. Karena, orang tua merasa 'gerah' di usia 24 anak perempuannya belum memiliki gandengan yang cocok.
Saat masalah satu persatu bermunculan. Saya beranikan diri melamar jadi guru honorer di sekolah menengah pertama yang lokasinya tidak jauh dari rumah. Harap-harap cemas menunggu pengumuman.Â
Karena, meskipun sekolah ini berlokasi di kampung. Ada beberapa kandidat yang datang mengajukan lamaran. Jadi, peluang saya untuk diterima, rasanya agak tipis.Â
Namun, syukurlah Ilahi sayang pada saya. Alhamdulillah saya diterima mengajar di sekolah tersebut, menyingkirkan tiga saingan.
Suka-duka guru honorer
Dalam melakoni pekerjaan, apa pun itu jenis pekerjaanya. Tidak dapat dipungkiri, pasti ada resiko, tantangan, dan masalah yang akan dan harus kita hadapi. Termasuk menjadi guru honorer. Berikut adalah suka-duka menjadi guru honorer yang saya alami:
Pertama, gaji kecil tidak sesuai dengan Upah Minimum Kota (UMK) apalagi Upah Minimum Regional (UMR).Â
Tahun 2005, saya menerima gaji Rp 70.000 per bulan. Saya saat itu sangat bersyukur sekali, karena saya akhirnya dapat menghasilkan uang.
Sedikitnya satu harapan orang tua, tentang saya mendapatkan penghasilan dari bekerja akhirnya terkabulkan.Â
Saya gunakan gaji pertama tersebut dengan sebaik-baiknya, traktir keluarga jajan bakso, dan membeli sandal jepit untuk adik. Habislah gaji pertama itu dalam satu hari.
Sebagai informasi, gaji tenaga honorer di setiap instansi amat beragam dan berbeda-beda, baik antara satu sekolah dan sekolah yang lain, maupun antara perkotaan dan pedesaan, atau antara sekolah negeri dan sekolah swasta.Â