Mohon tunggu...
Istanti Fatkhul Janah
Istanti Fatkhul Janah Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Seorang Ibu dari satu anak yang mengabdikan diri sebagai pembelajar, pembaca manuskrip, pengagum kearifan lokal, pengeja prasasti, penulis kisah, penyuka budaya, penikmat senja, menjalani gaya hidup 'meaning full'~

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reyog Ponorogo dalam Etika dan Estetika

2 Desember 2021   23:57 Diperbarui: 3 Desember 2021   00:19 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Selanjutnya versi kedua pada masa pemerintahan Majapahit berada di Bhre Kertabumi berada pada sekitar abad 15 di mana mulai Islamisasi. Sedangkan untuk versi ketiga merupakan terusan dari versi kedua. 

Kedua versi terakhir ini secara runtutan sejarah dianggap lebih realistis dan memenuhi bukti kesejarahan yang lebih konkrit dari versi pertama. Akan tetapi tetap saja ada pihak yang juga meragukan beberapa hal seperti nama ‘Batoro’ Katong yang kurang dipercara kevaliditasannya sebagai muslim karena merupakan nama untuk umah Hindu serta beberapa penamaan Reyog serta alat musik yang secara etimologi berasal dari bahasa Arab namun kesannya terlalu dipaksakan. 

Selain hal tersebut diatas masih banyak sekali pendapat-pendapat para pemerhati sejarah Reyog. Semua memiliki kebenaran masing-masing dan yang lebih penting adalah bagaimana upaya untuk menjaga kelestariannya.

Reyog Ponorogo sebagai kesenian topeng terbesar di dunia terlepas dari berbagai versi asal-usulnya memiliki manfaat dan fungsi yang terbagi menjadi berdasarkan kronilogi waktunya seperti yang tergambar pada bagan di bawah ini:

Berdasarkan asal-usulnya, Reyog sudah memiliki fungsi sejak awal diciptakannya. Pada jaman dahulu, Reyog memiliki fungsi sebagai sarana untuk memenuhi syarat dari sayembara yang dari Dewi Sanggalangit kepada Prabu Klana Sewandana untuk menciptakan tontonan yang sebelumnya belum ada. 

Pada saat itu, Prabu Klana berhasil mengalahkan Singabarong yang kemudian muncul inisiatif menjadikannya tontonnan dengan manambahkan burung merak diatasnya. Kemudian lahirlah Reyog yang diciptakan sebagai upaya untuk memenangkan sayembara dalam mendapatkan cinta Dewi Songgolangit. Sampai akhrinya, dalam sebuah versi diceritakan bahwa keduanya menikah. Selanjutnya Reyog memiliki fungsi sebagai sarana protes sosial. 

Pada versi kedua asal-usul Reyog Ponorogo, diceritakan bahwa Reyog digunakan sebagai alat yang diciptakan oleh Suryangalam sebagai pujangga kerajaan Majapahit untuk protes sosial atau menyindir raja Majapahit. Pada saat itu kerajaan mengalami fase buruk karena dikabarkan Bhre Kertabumi sebagai raja dikendalikan oleh permaisurinya Putri Campa dari Cina. 

Hal ini mempengaruhi kepemimpinannya. Pada bagian ini diciptakan Reyog dengan tiga personil yaitu: Singo Barong yang ditunggangi burung merak adalah Sang Raja yang takhluk pada permaisurinya, Jathil sebagai pasukan berkuda, dan Ganongan yang tidak lain menganalogikan Suryangalam sendiri yang dibentuk menjadi sosok karakter lucu yang menertawakan Singo Barong. 

Jadi, Reyog digunakan Suryangalam sebagai pagelaran satirik yang digunakan untuk mencemooh raja Majapahit, Bhre Kertabumi (Simatumpang, 2019:125). Selanjutnya, fungsi Reyog berdasarkan asal usul Reyog versi ketiga yaitu Reyog digunakan sebagai sarana dakwah oleh Batoro Katong dan Ki Ageng Mirah dalam upaya Islamisasi Ponorogo. 

Saat itu Batoro Katong berhasil mengalahkan Suryangalam. Reyog yang diciptakan sebelumnya oleh Suryangalam dan telah digandrungi masyarakat sekitar akhirnya dialih fungsikan. Ki Ageng Mirah menginovasi Reyog dengan merubah bentuk dadak merak dengan menambahkan kipas di atas kepala merak dan hiasan manik-manik. Selain itu juga ditambahkan paraga dalam rangkaian pertunjukannya yaitu Prabu Klana Sewandana dan Pujangganong. 

Selanjutnya beberapa istilah tentang pereyogan juga mengambil istilah bahasa Arab seperti Riypqun (Reyog), Qodo’a (kendang), Katifun (ketipung), Qona’a (kenong), dan U’du (udheng) (Pemerintah Daerah Kabupaten Tingkat II Ponorogo 1996a: 7 ; Munardi 1999:9). Semua digunakan sebagai sarana untuk berdakwah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun