Mohon tunggu...
Istanti Fatkhul Janah
Istanti Fatkhul Janah Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Seorang Ibu dari satu anak yang mengabdikan diri sebagai pembelajar, pembaca manuskrip, pengagum kearifan lokal, pengeja prasasti, penulis kisah, penyuka budaya, penikmat senja, menjalani gaya hidup 'meaning full'~

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reyog Ponorogo dalam Etika dan Estetika

2 Desember 2021   23:57 Diperbarui: 3 Desember 2021   00:19 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Diceritakan Sang Raja diceritakan jatuh cinta pada Putri Kediri yang bernama Dewi Sanggalangit. Selanjutnya, Patih Pujangganong diutus untuk melamarnya. 

Sang Dewi meminta sebuah syarat untuk membuat sebuah tontonan yang belum ada sebelumnya. Singkat cerita, Prabu Klana Sewandono bertarung dengan Singo Barong di alas Lodaya untuk memperebutkan. Selanjutnya,  Sang Prabu Klana berhasil mengalahkannya lalu memenangkan sayembara dan menikah dengan Dewi Songgolangit. 

Akhir cerita, ada yang menyebutkan bahwa Prabu Klana dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu: antara hidup bahagia berketurunan dengan Dewi Sanggalangit atau tidak memiliki keturunan tapi hasil karya yang digunakan sebagai persyaratan ketika melamar bisa terus eksis dan berjaya melintasi berbagai zaman yang tidak lain adalah Reyog Ponorogo ini. 

Selanjutnya, Prabu Klana memilih pilihan yang kedua ini sehingga lahirlah wewaler bahwa orang Ponorogo tidak boleh menikah dengan orang Kediri karena tidak akan bahagia dan banyak rintangan. Wallahua’lam.

Versi yang kedua adalah versi Suryangalam. Versi ini dianggap lebih bisa diterima secara rasio dari pada versi Bantarangin (Simatumpang, 2019:123). Jika versi Bantarangin itu dianggap fiktif, versi Suryangalam ini dianggap memiliki kebenaran yang memiliki nilai historis yang mengacu pada tokoh dan tempat. Pada versi ini menceritakan Demang Suryangalam yang tinggal di desa Kutu Wetan, kecamatan Jetis. 

Tokoh ini populer dengan sebutan Ki Ageng Kutu. Sebelumnya, Suryangalam adalah penyair istana Majapahit yang pada abad ke lima belas. Karena kekecewaanya pada Bhre Kertabumi yang terlalu dikuasai oleh permaisuri yang bersama Putri Campa akhirnya Suryangalam meninggalkan kerajaan menuju desa Kutu lalu membuat tontonan yng berisi sindiran. Tontonan berupa kepala singa yang dihinggapi burung merak selanjutnya disebut Reyog ini.

Versi yang ketiga adalah versi Ki Ageng Mirah atau Batoro Katong. Pada versi ini diceritakan bahwa Batoro Katong yang dibantu oleh Ki Ageng Mirah berhasil mengalahkan Suryangalam. Hasil produk Reyog versi Suryangalam yang digunakan sebagai sindiran akhirnya diperbaharui dengan inovasi. 

Jika sebelumnya kepala singa dan merak sebagai analogi Bhre Kertabumi dan putri Campa, maka pada versi ini analogi dirubah menjadi Batoro Katong yang berhasil menakhlukkan Suryangalam. 

Di sini, Ki Ageng Mirah berinovasi dengan menambahkan penari baru. Sebelumnya terdiri dari tiga tokoh, kini bertambah cerita beru yaitu adanya paraga Prabu Klana Sewandana dan Pujangganong. Selain itu ada beberapa tambahan hiasan pada dadak merak berupa kipas dan manik-manik lainnya.

Dari ketiga versi tersebut banyak pertanyaan yang sering muncul: versi manakah yang paling benar. Pada dasarnya semua benar menurut masyarakat pendukungnya. 

Jika diperhatikan, versi pertama Klana Sewandana yang melamar Dewi Sanggalangi berada pada sekitar abad 12 . Versi ini dianggal lebih tua dari versi lainnya sehingga menurut masyarakat pendukungnya dianggap paling benar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun