Tajuk Rencana print.kompas.com pada Rabu (10/06/2015), Tekanan terhadap Saham dan Rupiah, mencatat bahwa arus modal keluar Indonesia sejak awal Maret 2015, sudah mencapai Rp 20 triliun, jauh melampaui arus modal masuk Indonesia. Rupiah juga terus menukik ke level terendah, sejak krisis finansial tahun 1998. Rupiah menjadi salah satu mata uang berkinerja terburuk di Asia. Foto: intisari-online.comÂ
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)
Tak mudah untuk bersikap realistis, apalagi bagi seorang Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ada citra yang harus dijaga. Ada kepercayaan pasar yang wajib dikelola. Dan, ada investor yang hendak digaet. Tapi, akhirnya Jusuf Kalla mengakui bahwa realitasnya ekonomi Indonesia memang bermasalah.
Pengakuan ini penting, sebagai bagian dari transparansi publik. Pengakuan ini sekaligus menunjukkan bahwa ada sejumlah kebijakan pemerintah, setidaknya kebijakan di sektor ekonomi, yang bermasalah. Kebijakan yang mana? Jawabannya ada di tangan pemerintah. Kualitas jawaban pemerintah itu akan menentukan, seberapa sungguh-sungguhnya pemerintah melakukan evaluasi terhadap sejumlah kebijakan yang telah diambil.
Dari Dalam dan Luar Negeri
Kalla, selain mengakui bahwa ekonomi Indonesia bermasalah, juga mengakui bahwa masalah tersebut berasal dari dalam dan luar negeri. Ini sesungguhnya sebuah penegasan, karena sejak nilai tukar rupiah terus anjlok terhadap dollar Amerika, para petinggi negeri ini selalu menuding kondisi global sebagai biang keladinya. Kondisi global pastilah berpengaruh terhadap kondisi ekonomi kita, karena Indonesia dalam pergaulan internasional, berinteraksi dengan banyak negara.
Seberapa positif dan seberapa negatifnya pengaruh kondisi global tersebut terhadap kondisi ekonomi negeri kita, sangat bergantung pada kebijakan yang dibuat pemerintah, dalam konteks merespon perubahan global tersebut. Misalnya, kebijakan pemerintah dalam memproyeksikan harga komoditas ekspor di awal tahun 2015. Proyeksi tersebut tentulah dibuat berdasarkan analisa terhadap pasar global, mengacu kepada jenis komoditas serta negara tujuan ekspor.
Realitasnya? Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, pada Jumat (29/5/2015), di Jakarta, harga komoditas di pasar global ternyata lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi awal tahun yang ditetapkan pemerintah. "Penurunan harga komoditas, memengaruhi konsumsi, produksi, dan investasi. Dampak langsungnya dirasakan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Setelah itu, dampak ikutan dirasakan di Jawa," kata Mirza Adityaswara.
Contoh di atas menunjukkan bahwa masalah bermula dari kebijakan pemerintah membuat proyeksi harga komoditas. Bisa karena tidak cermat menganalisa fluktuasi harga komoditas di pasar global, bisa karena Indonesia kalah bersaing dari negara lain, bisa pula karena pemerintah terlalu optimis. Mekanisme pemerintah dalam membuat proyeksi inilah yang perlu dievaluasi dengan sungguh-sungguh, agar menjadi pembelajaran untuk membuat proyeksi di sektor lain.
PHK, Indikator Kelesuan Ekonomi