Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Inspirasi Bung Karno, Kesadaran akan Lautan

1 Juni 2017   04:44 Diperbarui: 1 Juni 2017   11:29 1549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Bung Karno duduk di lapangan Pancasila yang disebut juga Taman Renungan. Di tempat ini, dulu Bung Karno sering duduk dan merenung. || KOMPAS/SUSI IVVATY

Inilah sebagian catatan Bung Karno yang saya ingat, yang kerap saya temukan di berbagai literatur. Antara lain, di buku Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara. Kini, saya berdiri di samping patung Bung Karno, yang berada di Taman Renungan Bung Karno, sekitar lima ratus meter dari rumah pembuangan Soekarno di Kota Ende. Dari sejumlah bacaan pula saya tahu, patung perunggu Bung Karno itu menggambarkan sosok Bung Karno ketika berusia 33 tahun.

Patung Bung Karno di Taman Renungan Bung Karno. ''Di Pulau Flores yang sepi, aku menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon. Merenungkan ilham yang diturunkan Tuhan, yang dikenal dengan Pancasila.'' ujar Soekarno sebagaimana yang ditulis Cindy Adams. Foto: florestourism.com
Patung Bung Karno di Taman Renungan Bung Karno. ''Di Pulau Flores yang sepi, aku menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di bawah sebatang pohon. Merenungkan ilham yang diturunkan Tuhan, yang dikenal dengan Pancasila.'' ujar Soekarno sebagaimana yang ditulis Cindy Adams. Foto: florestourism.com
Panduan Bung KarnoTentang Laut

Ia sangat gagah dan sorot matanya tajam. Saya cermati dengan saksama sorot matanya, yang mengarah ke Laut Sawu, arah selatan Pulau Flores. Secara administratif, Kota Ende adalah ibukota Kabupaten Ende, yang berada di selatan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Selama empat tahun, 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938, Bung Karno diasingkan di Kota Ende oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan, nyaris tiap hari, Bung Karno menghabiskan hari-harinya dengan membaca serta merenung, dengan posisi menghadap ke laut.

Ya, menghadap ke Laut Sawu, sebagaimana posisi patungnya yang kita saksikan kini. Dari catatan Bung Karno di atas, kita tahu, betapa hempasan gelombang samudera telah menjadi salah satu inspirasi penting baginya untuk menggelorakan revolusi, mengusir penjajah, demi kemerdekaan. Bila kita cermati lebih dalam, sesungguhnya Bung Karno sudah memandu kita untuk memahami potensi lautan. Selain sebagai sumber inspirasi, juga sebagai sumber penghidupan, serta sebagai bagian dari kedaulatan sebuah bangsa.

Kota Ende berlatar Gunung Meja nan memesona dilihat dari Bukit Samba. Kota kecil di daratan Pulau Flores ini menyimpan alam yang memikat hati, juga sejarah pengasingan Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Foto: yunaidi/ national geographic traveler indonesia
Kota Ende berlatar Gunung Meja nan memesona dilihat dari Bukit Samba. Kota kecil di daratan Pulau Flores ini menyimpan alam yang memikat hati, juga sejarah pengasingan Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Foto: yunaidi/ national geographic traveler indonesia
Sayang, panduan Bung Karno tentang pentingnya lautan, tidak dipahami dengan sungguh-sungguh oleh para pemimpin negeri ini, dari generasi ke generasi.  Padahal, kita tahu, luas laut Indonesia adalah tiga kali luas daratannya. Total luas wilayah negara kita 5.180.053 kilometer per segi, dengan rincian luas daratan 1.922.570 kilometer per segi dan luas lautan 3.257.483 kilometer per segi. Dalam konteks sumber penghidupan, alangkah besar potensi lautan tersebut, bila dikelola dengan sungguh-sungguh untuk kesejahteraan rakyat.

Kesadaran akan Potensi Laut

Mari kita berhitung mundur, untuk melihat, betapa abainya kita selama ini akan potensi laut. Kita merdeka pada 17 Agustus 1945. Dan, baru pada tahun 1999, negeri ini memiliki lembaga yang kompeten untuk mengelola kelautan, yang kini kita kenal sebagai Kementerian Kelautan dan Perikanan. Itu bermula ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, terpilih sebagai Presiden, pada 20 Oktober 1999, kemudian dilantik menjadi Presiden pada 26 Oktober 1999. Abdurrahman Wahid didampingi Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden.

Ketika mengumumkan Kabinet Persatuan Nasional pada 28 Oktober 1999, Gus Dur mengangkat Sarwono Kusumaatmadja sebagai Menteri Eksplorasi Laut. Kemudian, 10 November 1999, Gus Dur membentuk Departemen Eksplorasi Laut, yang di kemudian hari menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dalam hal ini, pasangan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri telah mendirikan tonggak penting bagi kesadaran bangsa ini akan potensi laut.

Laut menjadi arena untuk mengekspresikan kekaguman pada Bung karno. Ini Parade Kebangsaan di Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (1/6/2015). Parade yang meriah ini digelar dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni. Foto: himawan/indonesia.travel
Laut menjadi arena untuk mengekspresikan kekaguman pada Bung karno. Ini Parade Kebangsaan di Kota Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (1/6/2015). Parade yang meriah ini digelar dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni. Foto: himawan/indonesia.travel
Kesadaran untuk mengelola laut secara sungguh-sungguh adalah wujud dari keberpihakan kepada rakyat. Karena, berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2014, ada 964.231 rumah tangga di Indonesia yang mengandalkan hidupnya dari menangkap ikan di perairan umum dan laut. Bila satu rumah tangga terdiri dari 3 jiwa, maka ada  2,892,693 jiwa yang mengandalkan sumber penghidupan mereka dari lautan.

Kita Harus Kembali ke Laut

Presiden Joko Widodo berkali-kali mengingatkan kita untuk kembali ke laut, karena sudah sekian lama kita memunggungi laut. Dalam berbagai kesempatan, hal itu senantiasa ia ulangi. Sebagai Presiden, ia mencanangkan negeri ini untuk bangkit, dengan menjadi Poros Maritim di kawasan, setidaknya, di tingkat regional. Apa yang dicanangkan Joko Widodo tersebut, tentulah sangat relevan dengan potensi yang kita miliki.

Karena, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan melimpah dan memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Badan Informasi Geospasial (BIG) menyebutkan, total panjang garis pantai Indonesia mencapai 99.093 kilometer. Artinya, di garis pantai yang demikian panjang, ada berjuta rakyat yang bisa melakukan aktivitas perikanan sebagai sumber kehidupan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun