Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan untuk Kompasianer Thamrin Sonata

4 September 2019   02:16 Diperbarui: 4 September 2019   03:19 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Isson Khairul (kiri) dan Thamrin Sonata (kanan). Ini menjadi pertemuan saya yang terakhir dengan Thamrin Sonata, di sebuah kedai kopi di Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu (31/08/2019). Bersahabat puluhan tahun sejak tahun 80-an, kemudian mengelola Komunitas Kutu Buku di Kompasiana, membuat hubungan kami sedemikian erat. Saya sangat kehilangan. Foto: isson khairul

Malam mulai beranjak larut pada Sabtu (31/08/2019) itu. Kita berdua memilih sebuah kedai kopi sebagai tempat ngobrol. Saya minum kopi dan kau minum teh. Dari lantai dua kedai kopi itu, kita leluasa memandang cahaya di salah satu sisi Kota Bogor. Hawa malam itu sejuk, sepertinya embun sudah mulai turun bersama angin. Dedaunan di sekitar kita, dari sejumlah pot bunga dekat kita, bergetar perlahan.

Kau bercerita tentang progres buku keroyokan Kompasianer yang tengah dikerjakan. Judul buku itu Belajarlah Indonesia. Ada 40 Kompasianer yang menulis di buku tersebut. Sebagian naskah sudah masuk, sebagian lagi masih dalam proses ditulis. Pada awalnya, buku itu akan kita terbitkan untuk menyambut Hari Proklamasi Kemerdekaan RI ke-74, pada Sabtu (17/08/2019).

Tapi, karena sesuatu dan lain hal, itu tidak mungkin. Kemudian, kita sepakat untuk menerbitkannya pada Senin (28/10/2019) untuk menyambut Hari Sumpah Pemuda. Konteks buku itu relevan, karena Indonesia akan menyongsong bonus demografi, yang akan terjadi di rentang tahun 2030 hingga tahun 2045.

Pada periode itu, diprediksi 70 persen populasi Indonesia merupakan penduduk usia produktif. Bahkan, pada tahun 2045, penduduk Indonesia diprediksi mencapai 321 juta jiwa. Silakan hitung, betapa banyaknya generasi produktif kita di rentang tahun tersebut. Buku Belajarlah Indonesia yang sedang kita kerjakan itu, barangkali bisa menjadi salah satu bekal.

Bekal? Iya, karena 40 Kompasianer yang menulis di buku tersebut, menuliskan tentang berbagai potensi bangsa ini, yang patut kita pelajari bersama. Ke-40 Kompasianer itu menunjukkan, bahwa banyak hal hebat yang sudah dilakukan oleh anak bangsa selama ini. Itu bisa menjadi inspirasi untuk generasi kini dan generasi mendatang, demi meraih kemajuan bangsa.

Obrolan kita kian seru. Malam kian beranjak larut. Tanpa terasa, penanggalan Sabtu (31/08/2019) hampir berganti. Ini memang sudah menjadi habit kita bertahun-tahun, ngobrol dan diskusi hingga larut malam. Untuk orang yang sudah berumur seperti kita, mungkin ini bukan habit yang baik. Tapi, seperti yang kerap kau tuturkan: kita makin malam, justru makin kreatif.

Dari kiri ke kanan: Nano Riantiarno, Ratna Riantiarno, dan Thamrin Sonata. Mereka berfoto di depan karangan bunga duka cita dari Goenawan Mohamad untuk Amarzan Loebis, jurnalis Majalah TEMPO, yang wafat pada Senin (02/09/2019). Foto ini dikirimkan Thamrin Sonata via WhatsApp ke saya Senin itu, pukul 15.50 WIB. Ini menjadi pesan WhatsApp terakhir darinya. Foto: dokumentasi thamrin sonata
Dari kiri ke kanan: Nano Riantiarno, Ratna Riantiarno, dan Thamrin Sonata. Mereka berfoto di depan karangan bunga duka cita dari Goenawan Mohamad untuk Amarzan Loebis, jurnalis Majalah TEMPO, yang wafat pada Senin (02/09/2019). Foto ini dikirimkan Thamrin Sonata via WhatsApp ke saya Senin itu, pukul 15.50 WIB. Ini menjadi pesan WhatsApp terakhir darinya. Foto: dokumentasi thamrin sonata
Workshop di Hari Keluarga

Ketika hari sudah berganti menjadi Minggu (01/09/2019), kita baru tiba di rumah masing-masing. Saya di Jakarta dan kau di Bekasi. Malam sudah berlalu, itu sudah menjelang subuh. Kau langsung ke masjid untuk shalat subuh berjamaah, saya pun demikian. Setelah itu, kita masing-masing kembali ke rumah, merebahkan badan, meski syaraf di kepala masih terus berkreasi.

Sepanjang Minggu (01/09/2019), kita nyaris tak berkabar. Kata orang, weekend adalah hari keluarga. Hahahaha kita sering menertawakan kata orang tersebut, karena kita kerap menjadi pemateri workshop menulis justru pada Sabtu-Minggu. Dengan kata lain, berkali weekend kita justru tidak bersama-sama dengan keluarga. Kita asyik mengeksplorasi kata-kata dengan para peserta workshop menulis di berbagai kota.

Senin (02/09/2019) pagi, pukul 10.20 WIB, kau berkabar via WhatsApp, bahwa Amarzan Loebis meninggal. Saya tentu saja terkejut dan berduka. Saya tahu, kau cukup lama berkarib dengan jurnalis senior Majalah TEMPO itu. Saya pun pernah kau ajak beberapa kali berguru tentang jurnalistik kepada sosok yang bernama lengkap Amarzan Ismail Hamid tersebut.

Namun, hari itu, saya sedang ada urusan lain. Saya mohon maaf, karena saya tidak bisa menemanimu melayat Amarzan Loebis. Saya merasa, kau ingin kita bertemu sekalian melayat, untuk melanjutkan diskusi tentang buku Belajarlah Indonesia yang sedang kita kerjakan. Kemudian, pada pukul 15.19 WIB, kau mengirimkan foto karangan bunga duka cita dari Goenawan Mohamad untuk Amarzan Loebis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun