Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersama Melindungi Ibu dan Anak dari Tindak Kekerasan

28 Desember 2016   16:51 Diperbarui: 28 Desember 2016   17:27 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diskusi publik Bersama Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Dari kiri ke kanan: Agustina Erni, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Sri Astuti, Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta dan pendamping perempuan & anak Rusun Marunda Jakarta, Aenea Marella, Psikolog Yayasan Pulih, serta Liviana Cherlisa selaku moderator. Foto: isson khairul

Tidak ada ibu yang tidak menyayangi anaknya. Benarkah? Dari 702 kasus kekerasan terhadap anak tahun 2016, ternyata 55 persen pelaku kekerasan tersebut adalah kaum ibu. Di sisi lain, sepanjang 2015, terjadi 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan: sekitar 881 kasus per hari. Ayo, mari bersama melindungi ibu dan anak.

Catatan kekerasan ibu terhadap anak tersebut, dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam laporan akhir tahun 2016. Hal itu disampaikan Asrorun Niam Sholeh selaku Ketua KPAI, pada Kamis (22/12/2016), di kantornya, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Padahal, pada 22 Desember itu, kita sesungguhnya sedang memperingati Hari Ibu secara nasional. Sementara, catatan kekerasan terhadap perempuan tersebut, datang dari Komisi Nasional Perempuan. Hal itu diungkapkan Agustina Erni,  Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dalam diskusi publik Bersama Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Royal Kuningan Hotel, Jl. Kuningan Persada, Kav. 2, Setiabudi, Jakarta Selatan, pada Sabtu (3/12/2016).

Bersama Siapkan Calon Ibu

Realitas tentang ibu dan anak di atas, tentulah kenyataan yang menyedihkan. Mari kita mulai dengan menelaah tindak kekerasan yang dilakukan kaum ibu, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada ibu. Sebagai bagian dari rasa hormat tersebut, maka sudah sepatutnya semua pihak saling bahu-membahu mencegah kaum ibu melakukan kekerasan terhadap anak. Demi kehormatan ibu, demi masa depan anak. Salah satu jalan pencegahan tindak kekerasan yang bisa ditempuh adalah dengan mempersiapkan calon ibu, sebelum menjadi ibu. Persiapan tersebut, antara lain, menyangkut usia perkawinan dan pendidikan.

Kita tahu, masih cukup banyak calon ibu yang sesungguhnya belum cukup umur untuk menjadi ibu, tapi sudah menjadi ibu dalam artian yang sebenarnya. Tahun 2015, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat: perempuan usia 20 hingga 24 tahun yang sudah berkeluarga, 23 persen di antara mereka telah menikah sebelum usia 18 tahun. Ya, sebelum usia 18 tahun. Itu artinya, mereka masih sangat belia, masih butuh bimbingan menjalani kehidupan, tapi sudah harus mengayomi anak yang mereka lahirkan.

Mereka harus kita lindungi agar tumbuh menjadi generasi yang kuat dan hebat. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise, meminta semua pihak untuk melindungi anak-anak dan mengakhiri kekerasan terhadap anak. Hal tersebut dikatakan Yohana pada puncak pelaksanaan Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2016 yang dipusatkan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Sabtu (23/7/2016). Foto: kompas.com
Mereka harus kita lindungi agar tumbuh menjadi generasi yang kuat dan hebat. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise, meminta semua pihak untuk melindungi anak-anak dan mengakhiri kekerasan terhadap anak. Hal tersebut dikatakan Yohana pada puncak pelaksanaan Hari Anak Nasional (HAN) tahun 2016 yang dipusatkan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Sabtu (23/7/2016). Foto: kompas.com
Secara emosional, juga secara intelektual, mereka yang 23 persen tersebut, sesungguhnya belum siap menjadi ibu. Bila ditelaah lebih jauh, mereka sendiri barangkali belum ingin untuk menikah. Tapi, orang tua serta lingkungan sosial mereka, telah mendorong mereka untuk menikah. Akibatnya, mereka menjalani rumah tangga dengan kondisi yang belum matang. Belum cukup mampu mengendalikan diri. Belum cukup kuat untuk mengemban tanggung jawab sebagai ibu secara menyeluruh.

Siska Nopriana, mungkin bisa kita sebut sebagai salah satu contoh dari yang 23 persen tersebut. Usianya baru 23 tahun, ketika ia tega menyiksa anak kandungnya sendiri hingga tewas pada Senin (21/11/2016). Anaknya yang malang itu baru berusia 4 tahun. Peristiwa nahas tersebut terjadi di Palembang, Sumatera Selatan. Melihat rentang usia sang ibu dan anaknya, diperkirakan ia menikah pada umur 18 tahun. Bahkan mungkin sebelum berusia 18 tahun.

Bersama Akhiri Kekerasan

Tindak kekerasan yang dilakukan Siska Nopriana terhadap anak kandungnya sendiri, tentulah perbuatan yang di luar akal sehat. Sangat tidak mungkin rasanya seorang ibu sampai tega membunuh anak kandungnya sendiri. Tapi, itulah yang terjadi. Perbuatan Siska Nopriana tersebut menunjukkan kepada kita bahwa ia sebagai ibu belum mampu mengendalikan diri. Salah satu penyebabnya, karena ia masih terlalu belia memasuki gerbang pernikahan.  

Menurut saya, menekan angka pernikahan dini adalah bagian dari upaya menurunkan potensi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Artinya, pasangan suami-istri yang memasuki gerbang perkawinan setelah matang secara usia dan emosi, tentulah akan lebih mampu mengendalikan diri. Tidak mudah dikuasai emosi. Dengan demikian, permasalahan yang dihadapi bisa disikapi secara bersama, tanpa harus berujung pada tindak kekerasan.  

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melibatkan para blogger Kompasiana untuk menyukseskan program Three Ends. Dari kanan ke kiri: Nurulloh dari Content & Community Division Kompasiana, Aenea Marella, Agustina Erni, Sri Astuti, dan Liviana Cherlisa selaku moderator diskusi publik Bersama Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Foto: isson khairul
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) melibatkan para blogger Kompasiana untuk menyukseskan program Three Ends. Dari kanan ke kiri: Nurulloh dari Content & Community Division Kompasiana, Aenea Marella, Agustina Erni, Sri Astuti, dan Liviana Cherlisa selaku moderator diskusi publik Bersama Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Foto: isson khairul
Oh, ya, selama ini, istilah KDRT lebih mengacu kepada kekerasan antara suami-istri. Dalam kenyataannya, KDRT yang menyangkut kekerasan terhadap anak, sesungguhnya tidak kalah jumlahnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015. Ini sekaligus mencerminkan: anak menjadi korban karena lemahnya pengendalian diri suami-istri. Padahal, tugas utama suami-istri adalah melindungi anak mereka.

Karena itulah, program Three Ends dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) hendaknya diterapkan secara menyeluruh. Kita tahu, mata rantai tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah mata rantai yang panjang dan kompleks. Dalam konteks pernikahan dini, apa yang terjadi di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, bisa kita sebut di sini. Hingga Agustus 2016, ada 87 pasangan yang meminta dispensasi pernikahan muda  ke Pengadilan Agama (PA) Blitar. Dan, 60 persen dari 87 pasangan tersebut terpaksa melakukan pernikahan dini karena sudah hamil duluan alias married by accident.

Bersama Saling Peduli

Bila dikorelasikan tindak kekerasan yang dilakukan Siska Nopriana dan realitas pernikahan dini di Blitar tersebut, ini menjadi alaram bagi kita untuk meningkatkan rasa saling peduli. Betapa tidak. "Selama tahun 2013, anak-anak usia 10-11 tahun yang hamil di luar nikah, mencapai 600.000 kasus. Sedangkan remaja usia 15-19 tahun yang hamil di luar nikah, mencapai 2,2 juta orang," ungkap Khofifah Indar Parawansa, selaku Ketua Umum (Ketum) Pimpinan Pusat (PP) Muslimat Nahdlatul Ulama (NU).

Salah satu sisi Rusun Marunda di Jakarta Utara. Sri Astuti, selain sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta, juga menjadi pendamping perempuan & anak Rusun Marunda dengan dukungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Ini bagian dari upaya untuk menyukseskan program Three Ends. Sri Astuti memaparkan kondisi perempuan dan anak di Rusun Marunda dalam diskusi publik Bersama Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Foto: bisnis.com
Salah satu sisi Rusun Marunda di Jakarta Utara. Sri Astuti, selain sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Jakarta, juga menjadi pendamping perempuan & anak Rusun Marunda dengan dukungan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Ini bagian dari upaya untuk menyukseskan program Three Ends. Sri Astuti memaparkan kondisi perempuan dan anak di Rusun Marunda dalam diskusi publik Bersama Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Foto: bisnis.com
Hal itu ia ungkapkan pada pengajian umum puncak hari lahir Muslimat NU ke-68, yang berlangsung di Gedung Nasional Indonesia (GNI) Kota Kediri, Jawa Timur, pada Minggu (8/6/2014). Data-data di atas menunjukkan kepada kita, betapa rendahnya tingkat ketahanan rumah tangga di negeri ini. Ada begitu banyak rumah tangga yang dibangun oleh pasangan yang belum matang secara usia dan emosi. Dan, semua itu berpotensi meningkatnya tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Melalui program Three Ends, KPPPA menyerukan gerakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan orang, serta mengakhiri ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan. Karena mata rantai tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah mata rantai yang panjang dan kompleks, maka program Three Ends mengajak seluruh unsur, baik dari keluarga, pemerintah, akademisi, praktisi, dan bahkan media termasuk blogger untuk tidak melakukan pembiaran atau bahkan ikut melakukan kekerasan secara terselubung.

Dengan kata lain, kepedulian kita harus ditingkatkan secara bersama-sama, sesuai dengan kapasitas masing-masing. Para akademisi, misalnya, bisa melalui pendidikan serta pelatihan agar kaum perempuan memiliki pengetahuan dan skill. Para praktisi ekonomi, misalnya, bisa memberdayakan kaum perempuan melalui aktivitas yang bernilai ekonomi. Pegiat media dan blogger, misalnya, bisa menyosialisasikan berbagai risiko pergaulan bebas dan pernikahan dini. Kita tahu, ada begitu banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pernikahan dini adalah salah satunya. Bagaimanapun juga, suami-istri yang telah siap secara usia dan emosi, tentulah akan lebih siap mengayomi anak-anak yang mereka lahirkan.

Jakarta, 28 Desember 2016

isson khairul –linkedin –dailyquest.data@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun