Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Nasib Industri Pengolahan Ikan di Tengah Spirit Maritim

17 Juli 2015   03:18 Diperbarui: 17 Juli 2015   10:29 2026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bali mengekspor ikan tuna dalam bentuk segar dan beku senilai USD25,55 juta selama empat bulan, periode Januari-April 2015. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali mencatat, realisasi perdagangan luar negeri menunjukkan hasil perikanan tersebut mampu memberikan kontribusi sebanyak 15,71 persen dari total ekspor Bali secara keseluruhan yang mencapai USD162,70. Dalam konteks hilirisasi dan industrialisasi sektor perikanan, ekspor ikan segar tersebut tentu perlu ditangani dengan seksama. Foto: antaranews.com  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Kita harus masuk ke hilirisasi dan industrialisasi. Pesan Presiden Joko Widodo[1] pada Kamis (9/7/2015) itu, sangat jelas dan tegas. Tujuh hari kemudian, pada Rabu (15/7/2015), Kepala Riset Kelautan, Suhana[2], mengatakan, industri pengolahan ikan lesu, karena pasokan ikan turun drastis.

Hasil survei kegiatan dunia usaha yang dilakukan Bank Indonesia, menunjukkan, kapasitas terpakai industri pengolahan per triwulan II-2015 sebesar 67,93 persen, turun 12,71 persen dibandingkan triwulan I-2015. Inilah realitas di industri pengolahan ikan, di saat spirit maritim digelorakan, di kala cita-cita besar menjadi Poros Maritim tiada henti digaungkan. Demikianlah situasi yang dihadapi pengusaha pengolahan ikan di lapangan, yang membuat mereka kerap menyuarakan agar kebijakan demi kebijakan saling terintegrasi. Agar pemerintahan Joko Widodo, mencermati serta menganalisa secara komprehensif, sebelum menetapkan sebuah kebijakan.

Larangan Tanpa Solusi

Indonesia memang memiliki zona ekonomi maritim terbesar di dunia, 2/3 wilayah Indonesia adalah air. Tapi, bila kebijakan tidak dirumuskan secara komprehensif, tidak mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan, maka zona ekonomi terbesar itu hanya sekadar menjadi catatan dalam peta bumi. Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana, mencontohkan, larangan penggunaan alat tangkap cantrang[3] pada Februari 2015 seharusnya segera diikuti solusi penggunaan alat tangkap alternatif.

Alternatif tersebut diperlukan, agar jumlah produksi ikan tangkap tidak berkurang. Agar pasokan ikan ke industri pengolahan ikan, tetap terjaga. Nyatanya, pemerintah hanya melarang, tapi tidak disertai dengan opsi alternatif. Akibatnya, pasokan ikan tangkap menurun drastis, yang barangkali hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat sehari-hari. Kebutuhan ikan untuk industri tidak tercukupi. Suhana menyebutkan, jika tidak ada solusi, kapasitas industri pengolahan ikan dikhawatirkan kian terpuruk.

Solusi kebijakan dari larangan penggunaan alat tangkap cantrang tersebut, bukan hanya demi kepentingan industri, tapi juga demi menjaga keberlanjutan aktivitas nelayan, yang selama ini menggantungkan hidup mereka di laut. Pelarangan itu tentulah otomatis memerosotkan pendapatan mereka, karena pemerintah tidak memberikan solusi alternatifnya. Contoh di atas menunjukkan bahwa kebijakan pelarangan itu belum sepenuhnya dirumuskan dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang relevan.

Bila dikorelasikan dengan pesan Presiden Joko Widodo di atas, bahwa kita harus masuk ke hilirisasi dan industrialisasi, kebijakan pelarangan cantrang tanpa solusi alternatif tersebut, justru menunjukkan kebijakan pemerintah sesungguhnya kontra produktif dengan apa yang dipesankan Presiden. Dalam konteks ini, bukan pada tempatnya salah-menyalahkan berbagai pihak yang berwenang. Para pengambil keputusan sudah sepatutnya mengevaluasi, merumuskan solusi, agar industri pengolahan ikan bisa tumbuh untuk menjadi bagian dari spirit maritim yang terus dikumandangkan.

Dugaan penyelundupan ikan hasil kegiatan perikanan ilegal, disinyalir mulai marak seiring kebijakan moratorium izin kapal ikan buatan luar negeri dan larangan penggunaan alat tangkap berbahaya. Terkait itu, pemerintah berjanji meningkatkan pengawasan di pintu keluar pelabuhan dan bandar udara. Hal itu dikemukakan Sekretaris Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM-KKP), Agus Priyono, di Jakarta, pada Selasa (14/7/2015). Foto: print.kompas.com

Sebaran Unit Pengolahan Ikan

Realitas yang ada kini, unit industri pengolahan ikan masih terpusat di Indonesia bagian barat. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, dari total 60.163 unit pengolahan ikan (UPI), sebaran UPI di wilayah Maluku dan Papua hanya 6.198 unit atau hanya 10,3 persen. Padahal, Papua dan Maluku dikenal sebagai lumbung ikan nasional. Di dua wilayah itu memang ada UPI, 1.524 unit atau kurang dari 3 persen dari total jumlah UPI nasional.

Secara operasional, sebagian di antara UPI tersebut, hanya menjadi gudang penyimpanan, bukan industri pengolahan ikan. Mendorong industri pengolahan ikan untuk membangun atau memindahkan pabrik pengolahan ikan mereka ke dekat lumbung ikan, tentu bukan perkara gampang. Aspek investasi, tenaga kerja, market, logistik, dan waktu yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur pabrik adalah beberapa komponen yang mesti dikaji dengan cermat, supaya nilai ekonominya tetap positif.

Dalam hal kucuran dana untuk investasi, misalnya, kita bisa melihat, bank ekstra ketat menyalurkan kredit, di tengah perlambatan ekonomi nasional kini. Penyaluran kredit industri perbankan umum pada triwulan I-2015 melambat sekitar 11,1 persen, sejalan dengan pelambatan pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,71 persen. Pelambatan penyaluran kredit tersebut terjadi pada kredit modal kerja yang berkorelasi dengan produksi[4].

Presiden Joko Widodo pun mengakui, bahwa, ”Untuk membangun pelabuhan, infrastruktur, pabrik, itu butuh waktu.”[5] Maka, yang logis saat ini, agar pabrik pengolahan ikan mendapatkan pasokan ikan yang memadai dan teratur adalah menemukan solusi alternatif setelah pelarangan cantrang. Ini tentu saja bila pemerintah benar-benar memiliki kesungguhan untuk mewujudkan pesan Presiden Joko Widodo, bahwa kita harus masuk ke hilirisasi dan industrialisasi. Karena, menggali komoditas mentah tidak lagi menguntungkan seperti masa lalu. Karena, dunia sudah berubah.

RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, masuk dalam rancangan program legislasi nasional (Prolegnas) 2015–2019. Selama ini, nelayan tradisional dan kecil di Indonesia memiliki risiko yang sangat besar saat melakukan aktivitas melaut. Bukan hanya karena alat tangkap dan perahu yang berukuran kecil, tapi juga aspek perlindungan yang lemah dari otoritas pemerintah terkait hasil tangkapan. Tingkat kesejahteraan dan pendidikan mereka relatif rendah. Foto: print.kompas.com

Evaluasi dan Validasi Tiap Kebijakan

Dorongan Presiden Joko Widodo agar kita masuk ke hilirisasi dan industrialisasi, dalam konteks industri pengolahan ikan, sebenarnya sudah disambut dengan sumringah oleh pelaku industri perikanan di tanah air. Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Ikan Kaleng, Ady Surya, pada Sabtu (14/3/2015)[6] sudah menyatakan dukungannya akan hal itu. Ady Surya pada waktu itu mengungkapkan, untuk menumbuhkan industri pengolahan ikan di Indonesia, dibutuhkan kebijakan pemerintah terkait perikanan, yang benar-benar bisa memastikan ada kecukupan bahan baku ikan untuk industri.

Kita tahu, kebijakan moratorium izin kapal ikan buatan luar negeri, berlaku sejak November 2014. Adapun larangan penggunaan pukat tarik dan pukat hela, termasuk cantrang, diberlakukan sejak Februari 2015. Semua kebijakan tersebut jelas berpengaruh pada ketersediaan bahan baku ikan untuk industri. Dan, solusi alternatif dari sejumlah kebijakan tersebut, hingga kini belum memadai. Akibat dari sejumlah kebijakan tanpa solusi alternatif itulah yang dipaparkan Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana, pada Rabu (15/7/2015): industri pengolahan ikan lesu, karena pasokan ikan turun drastis.

Realitas tersebut menunjukkan kepada kita bahwa kebijakan pemerintahan Joko Widodo, dalam konteks perikanan, belum sepenuhnya dikaji secara mendalam dan komprehensif. Masih banyak aspek yang belum dijadikan bahan pertimbangan. Padahal, sejak November 2014 dan Februari 2015, hingga kini Juli 2015, sudah berlangsung beberapa bulan kebijakan tersebut digulirkan dan belum nampak tanda-tanda opsi solusi alternatif. Karena itulah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto, pada Jumat (10/7/2015) menyatakan, harus ada evaluasi dan validasi untuk setiap kebijakan yang dikeluarkan setiap menteri bidang ekonomi. Tujuannya, agar kebijakan ekonomi terintegrasi, tidak jalan sendiri-sendiri, dan tidak sektoral[7].

Dalam konteks minimnya pasokan ikan, sebanyak 8 dari 55 pabrik pengolahan ikan di Bitung, Sulawesi Utara, telah berhenti berproduksi, karena kekurangan pasokan ikan segar. Basmi Said, Ketua Asosiasi Unit Pengolahan Ikan Kota Bitung, mengatakan, pabrik-pabrik pengolahan ikan telah berhenti beroperasi, karena pasokan ikan yang ada tidak cukup memenuhi batas minimal yang dibutuhkan untuk mencapai titik impas operasional pabrik[8]. Bagaimana akal sehat kita memahami korelasi realitas itu dengan pesan Presiden Joko Widodo agar kita masuk ke hilirisasi dan industrialisasi, dalam konteks industri pengolahan ikan?

Jakarta, 17 Juli 2015

---------------------------

SMK Negeri 3 Bulukumba, Sulawesi Selatan, adalah salah satu dari 900 SMK perikanan dan kelautan di tanah air, yang menyiapkan SDM untuk mendukung Pembangunan Kemaritiman di Indonesia:

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/pendidikan-perikanan-kelautan-di-tengah-gelora-spirit-maritim-berkaca-dari-bulukumba_559af8fdb37e61ba08970216

--------------------------

Managing Director Bank Dunia, Sri Mulyani, di konferensi Indonesia Green Infrastructure Summit (IGIS) 2015, di Hotel Fairmont, Jakarta, bicara tentang industri maritim yang ramah lingkungan:

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/sri-mulyani-dalam-spirit-maritim-untuk-green-economy-yang-ramah-lingkungan_5577d1bca623bdde7715bec1

--------------------------

[1] Menurut Joko Widodo, mesin pendorong pertumbuhan ekonomi yang selama ini menopang perekonomian Indonesia, seperti bahan mentah, tidak lagi bisa diandalkan. Maka dari itu, Jokowi menekankan perlunya pendekatan industrialisasi. Hal itu dikemukakan Jokowi dalam acara yang digelar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Jakarta Convention Center, pada Kamis (9/7/2015).

[2] Menurut Suhana, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, sejak pemberlakuan kebijakan moratorium dan larangan cantrang, perbaikan industri pengolahan perikanan belum signifikan. Suhana menyampaikan hal itu di Jakarta, pada Rabu (15/7/2015). Selengkapnya, silakan baca Industri Pengolahan Kurang Bahan Baku, yang dilansir print.kompas.com, pada Kamis (16/7/2015). Hal terkait juga bisa dibaca Industri Pengolahan Ikan Kekurangan Bahan Baku, yang dilansir swa.co.id, pada Rabu (15/4/2015).

[3] Pelarangan tersebut berdasarkan Permen KP No.2/PERMEN-KP/2015. Pada pasal 2 beleid itu disebutkan, setiap orang dilarang menggunakan alat penangkappan ikan pukat hela (trawls) dan alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Berdasarkan aturan tersebut maka cantrang merupakan alat penangkapan ikan yang dilarang dioperasikan di seluruh WPP-NRI. Selengkapnya, silakan baca Menteri Susi Larang Penggunaan API Jenis Cantrang, yang dilansir kompas.com, pada Selasa l 24 Februari 2015 | 18:36 WIB.

[4] Data peredaran uang pada akhir Maret 2015 yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) pekan lalu dan dikutip Kompas pada Minggu (10/5/2015) menunjukkan, total penyaluran kredit industri perbankan umum mencapai Rp 3.713,7 triliun. Pertumbuhan penyaluran kredit itu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan penyaluran kredit pada Februari 2015, sebesar 12 persen.

[5] Selengkapnya, silakan baca Pebisnis Diminta Berinovasi, Ekonomi Indonesia dalam Transisi, yang dilansir print.kompas.com, pada Jumat (10/7/2015).

[6] Dukungan tersebut dikemukakan Ketua Harian Asosiasi Pengusaha Ikan, Kaleng Ady Surya, di Jakarta, pada Sabtu (14/3/2015). Hal itu menyikapi rekomendasi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, sehari sebelumnya, yang mempersilakan investor Malaysia untuk investasi gudang pendingin dan industri pengolahan ikan di Indonesia sebagai solusi atas kekurangan pasokan ikan di Malaysia. Selengkapnya, silakan baca Silakan Malaysia Berinvestasi, tapi Jangan Rebut Bahan Baku Perikanan, yang dilansir print.kompas.com, pada Senin Siang | 16 Maret 2015 l 15:12 WIB.

[7] Suryo Bambang Sulisto mengatakan hal itu, di Jakarta, pada Jumat (10/7/2015) menanggapi permintaan Presiden Joko Widodo sehari sebelumnya, pada acara silaturahim dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, agar pebisnis melakukan inovasi saat ekonomi sedang melemah seperti sekarang ini.

[8] Selengkapnya, silakan baca 8 Pabrik Pengolahan Ikan Di Bitung Tutup, yang dilansir bisnis.com, pada Jumat, 16 Januari 2015 l 16:45 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun