Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Buku Komik dalam Kesendirian RA Kosasih: Catatan untuk Sahabat

20 Desember 2013   10:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:42 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_284950" align="aligncenter" width="620" caption="RA Kosasih merupakan komikus pertama yang meluncurkan karyanya dalam bentuk buku. Maka, sangat pantas jika dia didaulat sebagai Bapak Komik Indonesia Foto: TEMPO/Jacky Rachmansyah"][/caption] Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Setelah huruf saling mendekat, jadilah kata. Timbulah makna. Dan, kita paham, ketika kemudian sejumlah kata mewujud dalam kalimat. Di lembaran buku, kata serta kalimat, dijelajahi berjuta pasang mata untuk menemukan makna kehidupan.

Kita belum menjadi kata. Saya di sini. Sendiri, sebagai z, dengan huruf kecil. Bukan karena tak percaya diri. Bukan pula karena tak sanggup tengadah. Tapi, justru sedang berproses dengan kesendirian, untuk memahami artinya kebersamaan. Sungguh, saya sama sekali tak merasa asing dengan pilihan ini. Hiruk-pikuk di luar sana, tak cukup kuat untuk menggoyahkan kesendirian ini.

Sementara, dirimu juga sendiri di sana. Entah di mana. Yang saya tahu, kamu tak risau dengan kesendirianmu. Baik sebagai a dalam huruf kecil, maupun sebagai A dengan huruf kapital. Penjelajahanmu dari lembaran demi lembaran buku, telah membuatmu tak pernah merasa sendirian. Huruf, kata, dan kalimat bermekaran di sekitarmu, dari waktu ke waktu. Inilah yang membuat hari-harimu senantiasa indah.

Berkarya dalam Kesendirian

Ada yang ingin saya ceritakan padamu tentang sebuah kesendirian, tentang seorang Raden Ahmad Kosasih. Orang mengenal namanya sebagai RA Kosasih. Sosok pria kelahiran Bogor, Jawa Barat, ini adalah tokoh utama di dunia buku komik negeri ini. Ia merupakan komikus pertama di negeri kita yang menerbitkan komik menjadi buku.

Karya buku komik pertamanya berjudul Sri Asih. Buku ini diterbitkan tahun 1954 oleh Penerbit Melodie di Bandung. Dalam khazanah penerbitan buku komik, Sri Asih tentulah sangat monumental. Karena, pada masa itu, belum ada komik yang diterbitkan menjadi buku. Secara jumlah cetakan dan sebaran, memang masih relatif terbatas. Namun, secara hitung-hitungan penghasilan, tak bisa dipandang remeh.

Sebagai ancer-ancer, Kosasih yang pada saat itu bekerja sebagai karyawan di sebuah kantor pertanian, menerima gaji Rp 350,- per bulan. Dan, dari membuat komik, ia meraih penghasilan lima kali lipat dari gaji bulanannya. Saat itu, 1 liter beras, Rp 2,- Jumlah itu menjadi berlipat-lipat setelah buku komik karyanya melambung dan mempopulerkannya. Terutama, setelah Kosasih meluncurkan buku komik Mahabharata, Ramayana, dan Siti Gahara yang digemari publik secara luas.

Kemudian, Kosasih mengundurkan diri sebagai karyawan. Ia full mengabdikan hidupnya dengan berkarya lewat komik. Kemudian, masa kejayaan buku komik mulai menurun sejak pertengahan tahun 1974 dan terus menurun tajam pada tahun-tahun berikutnya, hingga usai sudah kajayaan komik negeri ini pada tahun 1990-an. Apakah Kosasih berhenti berkarya? Apakah Kosasih stop membuat komik?

Pengamat komik sekaligus penulis serba bisa, Arswendo Atmowiloto, menuliskan Obituari RA Kosasih, ketika tokoh komik ini wafat Selasa, 24 Juli 2012, pukul 01.00 WIB dini hari, pada usia 93 tahun, di rumahnya, Jalan Cempaka Putih III, No. 2, Rempoa, Ciputat, Tangerang Selatan.

Pewaris Sri Asih

Sumber: Majalah TEMPO, 05 Agustus 2012, halaman 118-119

Tapi keadaan sudah jauh berbeda. Beliau menggambar di kertas minyak, sebagai pengganti klise, dengan ukuran 1 x 1. Apa yang digambar, itulah yang terlihat di buku. Maka garisnya terkesan tebal dan kasar.

Saya mendapat kesan, beliau adalah seniman santun, tak banyak menuntut –termasuk mempertanyakan hak ciptanya. Tidak banyak bicara, mengenai diri dan karyanya. Bekerja di rumah dalam meja sederhana, menggambar kotak demi kotak, istirahat makan siang di meja dekatnya, dan meneruskan kembali sesudahnya, sampai sore. Sendirian. Dialog dengan komik ciptaannya.

Dialog dari proses kreatifnya diingatkan kembali dengan kepergiannya. Bahwa sebenarnya komik sebagai “sastra bergambar” masih akan selalu ada, karena memang ada peminatnya. Banyak. Komik sebagai bentuk seni masih akan berjalan terus. Namun perjalanan komik Indonesia mungkin tak bisa lurus.

[caption id="attachment_284951" align="aligncenter" width="620" caption="Ratusan judul komik karya RA Kosasih berlatar cerita pewayangan berderet di rak toko buku Maranatha, Bandung, Jawa Barat. Sebagian besar hak cetak dan edar buku komik RA Kosasih dimiliki oleh Maranatha sejak tahun 1960. Foto: TEMPO/Prima Mulia"]

13875115321893304625
13875115321893304625
[/caption] Kesendirian yang Monumental

Gambaran Kosasih di atas, ingin saya ceritakan padamu, bukan agar dirimu mempertahankan kesendirianmu. Bukan. Saya hanya sekadar share bahwa kesendirian yang di mata orang lain dilihat sebagai ketidaklengkapan, ternyata bukan halangan untuk menjadi inovator. Bukan pula halangan bagi lahirnya karya yang monumental.

Dengan begitu lahapnya dirimu menjelajahi buku demi buku, tentu akan sangat jauh lompatan yang bisa kamu lakukan. Kesendirianmu adalah kemewahan yang tak banyak dimiliki orang lain. Sebagaimana kerap kamu dengar, alangkah sangat banyak orang yang nyaris tak punya waktu untuk dirinya sendiri.

Dari pagi hingga malam, ada jutaan orang yang merasa kehabisan waktu, terdesak waktu, dan tak punya sisa waktu karena tersita oleh urusan pekerjaan. Ada juga yang sesungguhnya memiliki banyak waktu tapi tak cukup mampu memanfaatkan waktu yang dimiliki itu dengan efektif.

Saya masih ingat, bagaimana dirimu dengan efektif merancang untuk menghadiri tiga event di suatu week end. Dan, karena salah satu panitia penyelenggara event tersebut tak komit akan waktu yang telah mereka tetapkan, kamu jengkel dan marah karena plan waktumu jadi rusak gara-gara mereka.

Disiplinmu akan waktu, membuat saya iri. Mungkin bukan hanya saya yang iri. Kenapa? Karena disiplin adalah salah satu kunci penting dalam menulis. Baik dalam konteks disiplin berpikir, maupun dalam hal menulis itu sendiri. Apalagi ketika menulis buku, yang membutuhkan rentang waktu. Dan, dengan kesendirianmu, kamu memiliki kendali penuh atas waktumu. Bukankah itu suatu kemewahan?

Penulis Freelance Harus Tetap Disiplin Waktu

Sumber: kompas.com, Senin, 12 Juli 2010 | 14:13 WIB

Penulis Sitta Karina Rachmidiharja (29) memilih mengangkat tema-tema remaja dalam semua novelnya karena, menurut dia, masa remaja adalah masa-masa paling sulit dalam kehidupan manusia. "Selain indah dan penuh warna, masa remaja itu paling sulit. Ada yang berhasil melewatinya, ada yang tidak," tutur cucu penulis Mara Karma ini. Sitta mengaku, ide menulis bisa datang dari mana saja. Misalnya, ide cerita untuk menulis kisah mengenai Klan Hanafiah dalam Lukisan Hujan dan lima novel lainnya yang saling berkaitan, ia ambil dari kehidupan keluarga besarnya sendiri.

Begitu banyaknya ide itu berdatangan, Sitta mengaku bisa menulis beberapa novel sekaligus, pada saat bersamaan. Saat ini saja ia sedang menulis lima novel secara simultan. "Caranya harus disiplin. Setiap datang ide untuk menulis sebuah novel, harus segera ditulis outline-nya pada satu halaman di Microsoft Word. Setelah itu, saya tinggal mengembangkan setiap outline," kata Sitta, yang menulis di rumah dan harus selalu berhenti setiap dua jam untuk memberikan ASI eksklusif kepada anak keduanya yang baru lahir.

[caption id="attachment_284952" align="aligncenter" width="780" caption="Inilah buku pertama yang dicetak di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Amerika Serikat. Buku, seakan tak kenal waktu, melintasi zaman ke zaman. Edisi asli tahun 1640 itu tercatat sebanyak 1.700 eksemplar. Foto: AP � dari kompas.com"]

1387511605586054160
1387511605586054160
[/caption] Sendirian di Ujung Tahun

Desember yang kerap dibasahi hujan ini, di saat-saat tertentu membuat suasana jadi sentimentil. Ada rindu yang datang tiba-tiba. Bukankah hujan adalah rindu langit pada bumi? Bersama rindunya hujan, kata-kata bergerombol bagai ribuan anak ikan di teluk yang tenang. Dengan kesendirian, membiarkan rasa larut dalam sentimentil, adalah proses olah rasa yang sungguh menakjubkan.

Barangkali, inilah saat istimewa untuk memenuhi rindu huruf pada kata. Ini pulalah agaknya saat yang indah untuk menyatukan kata menjadi kalimat. Lalu, menatanya, alinea demi alinea. Di sana, entah di mana, saya perkirakan dirimu tengah asyik menjalin kata. Sementara, hujan mulai mereda, menyisakan gerimis yang turun perlahan.

Waktu terus bergulir. Hingar-bingar mereka yang tengah merencanakan liburan akhir tahun, untuk menyambut malam pergantian tahun, terdengar dari berbagai penjuru kota. Adakah semua itu menyesakkan dada? Apakah ini tahun terakhir dalam kesendirian? Entahlah. Di luar, gerimis masih terus mengantarkan rindu langit pada bumi.

Sementara, di sana, dirimu juga masih terus menguntai kata menjadi tulisan demi tulisan. Kesungguhan dan waktu, kelak akan mewujudkannya menjadi buku. Bukan hanya satu buku tapi sejumlah buku. Alangkah indah, ketika buah pikir serta himpunan rasa, dibaca oleh sejumlah orang, bermanfaat untuk orang banyak. Inilah kebahagiaan yang tak mudah diungkapkan dengan kata-kata.

Buku Termahal di Dunia Laku Seharga Rp 165,8 Miliar

Sumber: Kompas.com, Rabu, 27 November 2013 | 09:22 WIB

Buku pertama yang dicetak di wilayah yang sekarang bernama Amerika Serikat (AS) telah terjual seharga lebih dari 14 juta dollar AS (sekitar Rp 165 miliar) dalam lelang di New York, Selasa (26/11/2013), kata rumah lelang Sotheby. Hasil lelang itu menjadikan buku tersebut sebagai yang paling mahal di dunia saat ini.

Terjemahan Kitab Mazmur dari Alkitab Perjanjian Lama yang berjudul The Bay Psalm Book itu dicetak oleh para pemukim Puritan di Cambridge, Massachusetts, tahun 1640 dan terjual dalam lelang di Sotheby. Penawaran untuk buku itu dibuka pada harga 6 juta dollar AS dan ditutup hanya beberapa menit kemudian di harga premium 14.165.000 dollar AS (atau Rp 165.889.782.243), kata seorang juru bicara Sotheby. Rumah lelang tersebut menaksir harga buku itu antara 15 juta hingga 30 juta dollar AS. Sementara identitas si pembeli tidak segera diumumkan.

Jakarta 20-12-2013

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun