Langit hari itu tampak mendung. Agak gelap pekat. Jam masih di pukul lima sore. Suasana seakan mencekam. Tampak sebuah bangunan tua di sebelah rumahku sedang bersedih. Lirih. Ya, itu sekolah tua. Yang terlantar dan tiada berpenghuni lagi.
Menurut cerita kebanyakan orang tua, sekolah ini sudah ada sejak jaman Jepang yang menyerang kampung. Sekolah ini pernah dijadikan kamp para tawanan perang. Kemudian para tawanan yang pesakitan itu dibunuh masal dalam ruang-ruang kelas sekolahan.
Namun demikian, sekolah ini masih terus tegak berdiri dengan angkuh hingga sekarang. Walau sesekali pernah terdengar jeritan dan lolongan suara orang minta tolong dari lorong kelasnya.
Membuyarkan lamunan saya tentang sekolah tua itu, Suparno datang dengan berita. Setelah diceritakanya panjang lebar bahwa pak lurah dan para masyarakat akan membongkar sekolah itu. Hal ini dipandang perlu karena masyarakat sering terganggu dengan suasana mistis dari sosok bangunan tua.
Saya hanya diam. Karena memang tiap dan hampir tengah malam sering terdengar nyanyian dan derap langkah kuda, letusan senjata serta suara teriakan histeris. Bila ada yang tanya kepada saya beberapa kejadian itu, saya sebut saja dengan nyanyian pilu sekolah tua. Tapi kembali ke Suparno.
Akhir cerita, saya tanya ke dia mau dibangun apa penggantinya. Suparno seolah menyesal dengan jawaban, "Taman pekuburan, pak." Saya menelan ludah. Nyanyian itu tidak solo lagi yang bakalan terjadi, tapi bisa-bisa konser pocong tiap malamnya. Iiih ngeri. (*)