Mohon tunggu...
Isnandar
Isnandar Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Masih belajar dan tetap belajar dalam melihat, mendengar kemudian merefleksikan rasa lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lukisan

15 Juni 2019   13:25 Diperbarui: 15 Juni 2019   13:47 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari pixabay.com

Sudahlah, hentikan perdebatan ini. Begitu lelah menguras tenaga. Aku letakan lukisan diruang privasi. Dekat menyentuh kalbu. Yang dulu kering merana.

Ah...! Kamu selalu begitu. Argumen mentah tak mau mengalah. Aku istrimu. Cemburu pada tetangga kiri kita. Menggantung lukisan di ruang tamu.

Biarlah semua tahu kita pun beragama. Bahkan kita majority. Buat apa sembunyi. Sesepi belantara. Sesepi asap meninggalkan api.

Dengan pakaian rapi ke tanah suci. Ke rumah guru kita mengkaji. Pakaianmu itu lho sama sekali tak seperti santri. Ayolah ayah. Kamu pemimpin dirumah ini.

Wahai istri tercinta. Tidaklah begini cara berkaca. Biar ku taruh lukisan di hati. Hati bersih punya daya pancar suci. Bagai mata air. Bagai pohon rindang diterik kemarau. 

Tuhan tidak serumit dan sesimpel yang kita bayangkan. Yang berkembang di alam fikir. Dialah pertengahan rasa dari kesadaran yang berhembus di antara kematian dan kehidupan.

Bekasi 15.Juni.2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun