Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - editor lepas dan bloger penuh waktu

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

5 Alasan Saya Tak Punya Koleksi Barang

5 Mei 2021   22:14 Diperbarui: 5 Mei 2021   22:15 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi buku di perpustakaan daerah, sumber berharga untuk diakses tanpa merogoh rupiah. (Foto: dok. pri)

Setiap kali mendengar frasa koleksi barang, seketika ingatanku terpaut pada seorang rekan kantor di Bogor belasan tahun lalu. Dia seorang ayah satu anak yang punya kegemaran mengoleksi action figure atau miniatur superhero yang mejeng dalam pose tertentu. Ada beberapa action figure yang ia pajang di meja lemari kerja karena ia seorang asisten supervisor yang punya ruangan khusus. Begitu tahu harga setiap action figure itu, mata saya melotot. Tak percaya tapi nyata walau jelas tak tertarik memilikinya.

Koleksi mahal itu saya bawa dalam percakapan bersama seorang teman saat menonton pertandingan sepak bola suatu malam. "Aku heran ya Bro kok ada orang yang repot-repot ngumpulin barang mahal tapi enggak ada gunanya. Temenku tuh ngumpulin action figure favoritnya padahal cuma dipajang aja di lemari." Melihatnya belum bereaksi, saya lanjut mencerocos, "Kayak kamu nih, dibetah-betahin melek sampe dini hari demi pertandingan sepak bola luar negeri padahal enggak dapat apa-apa. Mending tidur, jelas enaknya!" kata saya setengah protes.

Sambil memicingkan mata karena menahan kantuk, "Ya ga bisa gitu dong, Bro! Kamu suka baca buku kan? Emang kamu dapat dengan membaca buku?" sergahnya cepat.

"Ya jelas, aku terhibur dan mendapat pencerahan. Pokoknya asyiklah membaca tuh, banyak manfaatnya," saya berkilah pernah pertimbangan.

"Begitu juga dengan orang-orang yang kamu protes tadi. Ada yang suka ngumpulin karakter mini superhero atau nonton sepak bola manca ya karena mereka dapat sesuatu. Mereka senang walaupun kamu enggak tahu apa kesenangannya." Dia menjawab ringan dan saya hanya menganggukkan kepala.  

Alasan tak mengoleksi barang

Saya spontan mendapat pemahaman bahwa saya telah keliru mengungkapkan keberatan itu. Betapa setiap orang punya kegembiraan dan ekstase sesuai minat dan preferensi pribadi. Hobi masing-masing orang tak mungkin saya intervensi sebagaimana kenikmatan mereka tak bisa saya definisikan. Saya pun mulai maklum ada orang yang mengoleksi album penyanyi favorit, lukisan supermahal, kamera canggih dan mahal, dan seterusnya.

Namun tetap saja saya tak tergerak untuk mengoleksi sesuatu. Ada beberapa alasan mengapa hingga kini saya tak menjadi kolektor apa pun. Kalaupun buku bisa disebut sebagai barang koleksi, jumlah buku di rumah kami pun tak banyak, hanya ratusan dan terus kami kurangi. Jika pun buku di rumah bertambah, biasanya bukan karena beli tetapi kiriman dari teman yang peduli dengan Saung Literasi--tempat saya dan istri mengabdi.

1 | Tak ada motivasi

Sependek pengetahuan saya, hanya prangko yang sempat saya koleksi. Ah, kata koleksi pun sebenarnya terlalu berlebihan karena saya bukanlah pegiat filateli. Saya hanya mengumpulkan prangko dalam negeri, hasil membeli atau dikirimi teman, itu pun jumlahnya sangat sangat terbatas. Jadi jelas tak memori khusus tentang koleksi barang yang bisa memantik saya untuk menjadikannya sebagai motivasi.

Orang-orang di kampung tempat saya lahir dan besar tak satu pun menekuni dunia koleksi. Tak ada persentuhan dengan aktivitas mengoleksi itulah yang membuat saya tak tergiur untuk menjadi kolektor barang apa pun saat tumbuh dewasa sampai kini. 

2 | Teladan Nabi

Alasan kedua adalah teladan Nabi Muhammad Saw. Suatu hari beliau bergegas pulang selepas salam shalat Subuh. Para sahabat terheran-heran beliau tak duduk untuk berzikir seperti biasa. Beberapa saat kemudian beliau kembali ke masjid dan mengatakan bahwa ada hal mendesakn yang mesti ditangani. Waktu ditanya apa itu, beliau menjelaskan bahwa ada uang di bawah kasur yang belum sempat beliau sedekahkan. 

Beliau khawatir secuplik harta itu akan menjadi pemberat tanggung jawab di akhirat. Rasulullah memang pribadi yang sangat berhati-hati, terutama soal hal-hal berbau materi. Sering kali keluarganya didera kelaparan karena lebih mengutamakan kepentingan umatnya. Maka puasa menjadi kebiasaan yang mereka nikmati. Saya tak ingin mengoleksi sebab ingin meniru contoh dari Nabi.   

3 | Rumah mini

Alasan berikutnya kenapa saya tak tergoda mengoleksi barang adalah sebab rumah kami tidak besar. Ruang tamu hanya kami isi dengan televisi dan satu rak berisi buku. Di depan TV terhampar tikar rotan untuk membaca atau bercengkerama bersama keluarga. Rumah yang sempit memang menghadirkan problem tersendiri. Di satu sisi, mudah dibersihkan tetapi di sisi lain sulit kalau ingin punya barang untuk dikoleksi. Syukurlah!

4 | Tak ada pitis

Mengoleksi barang apa pun membutuhkan biaya yang nilainya relatif antara satu orang dengan lainnya. Namun jika koleksi terus dilakukan, akumulasi biaya untuk mendapatkan barang itu tentu semakin besar. Saya merasa sayang jika mesti membelanjakan uang untuk barang yang tidak benar-benar bisa dimanfaatkan. Kalau buku sih masih bisa dibaca berulang atau dihibahkan. Pitis atau uang lebih baik ditabung atau untuk benda yang lebih produktif seperti buku yang kami semua sukai.

Rak berukuran 2x2 m di ruang tamu sebagai spot favorit di rumah. (Foto: dok. pri)
Rak berukuran 2x2 m di ruang tamu sebagai spot favorit di rumah. (Foto: dok. pri)

5 | Kurang mumpuni

Alasan terakhir adalah ketidakmampuan saya untuk merawat barang koleksi jika saya nekat melakukannya sebagai hobi. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk bisa mempertahankan barang-barang koleksi agar tetap awet dan bernilai. Saya merasa bukan orang yang piawai menjaga barang di rumah seperti itu. Satu-satunya benda yang kami simpan di rumah adalah buku, itu pun tak rutin kami bersihkan karena berbagai alasan.

Begitu juga dengan hobi berkebun di pot di depan rumah. Rok-rok asem, kata orang Jawa di kampung saya, yaitu ungkapan untuk menggambarkan semangat yang mudah loyo dan sesekali saja menyala. Dengan gairah seperti itu, saya merasa sadar diri untuk tak mau mengumpulkan barang sebagai koleksi.

Selain meringankan beban hidup di dunia, meniadakan koleksi barang juga saya harap akan memuluskan tanggung jawab di akhirat dengan tidak lama-lama merinci benda ini itu yang sebenarnya bisa dirupakan uang untuk kebutuhan lebih mendesak, baik untuk keluarga sendiri maupun orang lain. 

Saya tentu saja tak hendak melempar sinisme pada mereka yang hobi mengoleksi barang sebab ragam benda yang dikoleksi tentunya punya manfaat yang tak saya ketahui. Saya merasa nikmat dengan hidup tanpa koleksi, dan kalaupun harus mengoleksi, saya ingin menghimpun kebaikan atau kebermanfaatan yang terus terakumulasi sebagai energi yang positif. Mungkin bisa saya mulai atau pertegas sejak Ramadan tahun ini.  

    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun