Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - editor lepas dan bloger penuh waktu

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tradisi Sahur Dulu: Lalar dan Pepes Ikan Gabus yang Nyaris Pupus

1 Mei 2021   23:02 Diperbarui: 1 Mei 2021   23:22 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menu sahur yang menggugah sebagai bekal berpuasa. (Foto: dok. pri)

Hingga puasa hari ke-19, alhamdulillah kami sekeluarga belum sekali pun absen bersantap sahur. Kalaupun ada masa deg-degan, itu akibat bangun agak terlambat dari biasanya sehingga makan sahur harus dipercepat prosesnya. Untunglah di rumah kami selalu sedia kurma dan madu yang bisa jadi kudapan instan saat santap sahur harus dituntaskan.

Waktu terlambat bangun beberapa hari, saya dan istri sedang didera kelelahan luar biasa akibat tenggat pekerjaan yang mengintai. Walhasil, dering alarm dari ponsel pun taida terdengar sehingga kami batal bangun sesuai jadwal. Bangun 15 menit sebelum imsak, santap sahur otomatis jadi aktivitas yang kurang santuy. 

Tentang bangun telat ini, saya jadi teringat pada kabar terkini tentang Zaskia Adya Mecca yang memprotes suara seseorang dari toa masjid saat membangunkan warga agar bersahur. Saya pribadi menganggap tradisi membangunkan sahur adalah hal yang biasa, bahkan bermanfaat, terutama bagi ibu rumah tangga yang ingin menyiapkan menu sahur agar tak tergesa. Baik lewat toa masjid maupun lewat tim khusus yang berkeliling kampung, itu tak masalah.

Namun setelah mendengarkan suara orang yang dikeluhkan Zaskia, saya sepakat bahwa itu memang keterlaluan. Bukan penggunaan toa yang salah, tapi cara membangunkan (termasuk intonasi dan pilihan nada) yang bermasalah. Cenderung berisik dan mengganggu. Bayangkan jika itu terdengar oleh warga non-Muslim di sekitar masjid yang ingin beristirahat, sangat mungkin bisa menciptakan ketidaknyamanan alih-alih memberi kemanfaatan.

Tradisi lalar yang benar

Di kampung dulu, sewaktu saya masih anak-anak, ada tradisi lalar yaitu kegiatan membangunkan warga menggunakan alat musik yang sebagian besar perkusi. Anak-anak SD dan SMP biasanya menginap di serambi masjid kampung agar bisa mengikuti acara lalar sekitar pukul 3 pagi. Menjelang pukul 3 kami dibangunkan oleh para senior atau marbut masjid agar kami segera berkeliling kampung guna membangunkan ibu-ibu yang ingin menyiapkan hidangan sahur.

Kebanyakan perkusi yang kami bawa berupa kentungan yang terbuat dari bambu. Cukup dipukul sesuai irama yang disepakati untuk menghasilkan bunyi-bunyian sepanjang jalan. Kami menyebut kentungan ini dengan truthukan. Disebut begitu mungkin sebagai tiruan bunyi saat kentungan dipukul, "Thuk thuk thuk...!" Jadilah truthukan yang berarti alat yang memproduksi suara thuk thuk thuk.

Truthukan yang saya miliki boleh dibilang paling unik dibanding milik teman-teman. Kentungan saya terbuat dari akar bambu yang disebut brungki dengan ukuran relatif lebih gembung dibanding kentungan teman-teman yang dibuat dari bilah bambu bagian tengah yang lurus-lurus saja. Walhasil, suara yang dihasilkan kentungan saya pun berbeda, lebih mantap dengan dengung yang kuat. 

Kentungan ini saya pinjam dari Mbah Lanang yang biasa menggunakannya untuk memanggil warga RT saat hendak ada pertemuan rutin bulanan. Mbah akan memukul di jalan depan rumahnya dengan sedikit mengangkat truthukan brungki agar menjangkau area yang luas. Satu gang RT pun mendengarnya dan segera memenuhi panggilan untuk berkumpul dalam rapat.

Nah, seperti itulah lalar atau cara membangunkan orang untuk sahur yang benar.  Kami tidak berteriak sembarangan yang berpotensi mengganggu warga yang tertidur. Kami memainkan nada yang sebisa mungkin harmonis dengan menirukan lagu yang populer dengan modifikasi pada lirik menjadi selawat atau lirik yang relevan dengan Ramadan.

Pepes ikan gabus pembangkit selera

Ada kebiasaan lain yang seolah menjadi tradisi keluarga saat bersantap sahur di rumah kami. Tak lain tak bukan adalah kehadiran pepes ikan gabus yang dimasak dengan bumbu kuning dan pedas memikat. Dagingnya lembut dan gurih, berkat kepiawaian ibu mengolahnya. Irisan kelapa muda dan tomat turut mewarnai pepes itu sehingga masakan menjadi semakin sedap untuk disantap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun