Mohon tunggu...
Ismi Faizah
Ismi Faizah Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis adalah proses menyembuhkan hati sedang membaca adalah proses membuka mata pikiran dan rasa

Read a lot write a lot

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji yang Retak

16 Oktober 2021   06:07 Diperbarui: 16 Oktober 2021   06:34 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sang istri berbalik. Berjalan pelan duduk merebahkan kepala bersurai hitam itu di atas paha sang suami sembari memandangi potret kemesraan mereka dalam bingkai. 

"Apakah senyum ini palsu? Apakah kiranya aku telah salah menilai bahwa pria yang aku kenal dalam hitungan bulan telah mencintaiku? Atau ia tak pernah bahagia sejak awal? Bicaralah mas," kedua kalinya jemari lembut sang istri mengelus sayang rahang sang suami. Setelah apa yang suaminya perbuat bagaimana bisa ia tetap berlaku begitu sabar. 

Bibir merah kecoklatan karena sering menghisap rokok itu tetap tak terbuka. Sibuk berdiskusi dengan dirinya sendiri. Merasa bersalah tentu saja. Namun untuk mengucap maaf entah mengapa bibirnya kelu. Sebut ia si brengsek yang beruntung.

Mendapatkan wanita setulus sang istri bukanlah perkara gampang. Seseorang yang tak peduli akan masa lalunya yang kelam, menemani bahkan disaat titik terendah, merawat ketika tubuhnya ringkih karena sakit berbulan-bulan, membersamai juga mendukung dalam setiap usaha yang ia jalankan. Lalu kini dengan mudahnya tahta dihatinya direnggut. Kalah oleh nafsu. 

"Mas...lihat aku!" Kedua tangan lembut menangkup pipi sang suami. Memaksa netra mereka saling menyelami satu sama lain. Perasaan cinta, kasih sayang, pengabdian, menghormati, menghargai terpancar amat indah. Pelangi di mata sang istri yang selalu terlihat kala menyambutnya pulang, senyum yang merekah juga wajah berseri itu telah lenyap tergantikan keputusasaan. 

Istrinya, wanita yang seharusnya mendapatkan kebahagiaan berlimpah dalam istana sederhana yang mereka bangun bersama mulai dari dasar, justru harus tersingkir. Waktu! Mengapa engkau membawa nelangsa. Bukan waktu yang salah, tapi hasrat manusia yang tak pernah merasa puas dan bersyukur itulah yang menghadirkan petaka. 

Sikap lembut sang istri justru semakin menyiksa batin. Lebih baik ia mendapatkan tamparan, pukulan bertubi-tubi. Jauh lebih baik fisiknya yang sakit daripada hatinya semakin memeluk penyesalan. kayu telah sempurna menjadi abu, hukum alam adalah sebab akibat, kini pria itu telah menuai konsekuensi atas perbuatan yang ia pilih. Kebohongan besar yang ditutupi bertahun-tahun telah terbongkar. 

"Mas...aku ikhlas. Aku sudah menimbang ribuan kali. Aku memutuskan untuk memaafkan mas. Mungkin aku juga ikut andil dalam masalah ini, ada sikap maupun sifatku sekiranya mas tidak berkenan, maafkan aku," air mata sang istri mengalir lebih deras. Suaranya bahkan hampir putus-putus. Istrinya yang malang tak sepatutnya mengucap maaf. Istrinya tak pernah kurang dalam hal apapun, cintanya sempurna pengabdiannya luar biasa. Dia yang tak tahu diri. Menyayat luka dengan sengaja. 

Tangan kekar itu terulur menarik sang istri dalam pelukan. Tangisnya pecah. Tak ada kata maaf yang terucap dari bibir sang suami. Hanya isakan pilu tanda penyesalan  tak terbendung dari seseorang yang mempermainkan pernikahan. Janji yang terucap disaat akad telah ternodai dengan pengkhianatan. 

Bukan perkara mudah memberi maaf seseorang yang telah menghancurkan kepercayaan terlebih dia adalah suami. Sosok yang selalu diharapkan selalu melindungi dan mengayomi. Namun, bagi sang istri yang memimpikan pernikahan sekali seumur hidup, mengakhiri mahligai rumah tangga yang telah mereka bangun bukan pilihan bijak. Perceraian adalah perkara yang dihalalkan namun sangat dibenci Tuhan. 

Pria itu mengecup pucuk kepala sang istri. Turun pada kening lalu mencium kedua mata berhias bulu lentik yang basah oleh air mata. Tak berhenti sampai disitu, berkali-kali ia kecup punggung tangan sang istri. Menangis membuat beban sedikit berkurang. Setidaknya meski tanpa kata, ia menunjukkan betapa dalam rasa sesal telah berbohong pada istri sahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun