Mohon tunggu...
Ismi Faizah
Ismi Faizah Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis adalah proses menyembuhkan hati sedang membaca adalah proses membuka mata pikiran dan rasa

Read a lot write a lot

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duniaku, Ibuku

2 Mei 2021   15:58 Diperbarui: 2 Mei 2021   16:04 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Minggir. Jangan halangi jalanku. Aku sudah muak. Cukup. Aku sudah tidak tahan hidup satu atap denganmu!" Ibu mengaduh. Aku yakin Bapak sudah kelewatan. Berani main tangan. 

"Lima belas tahun. Lima belas tahun aku menemanimu Mas. Suka dan duka. Aku bersabar bahkan saat kamu tidak bisa melakukan apa pun bahkan untuk sekedar bangun dari tempat tidur. Tujuh tahun kita menunggu hadirnya buah hati. Sekarang Rena hadir ditengah-tengah kita dan kamu melupakan semuanya dengan mudah! Mas, dia darah dagingmu. Tolong jangan tinggalkan kami! Meski bukan untukku tolong demi anak kita." Miris mendengar Ibu mengatakan semua itu hanya agar Bapak tidak pergi. Terlebih demi aku. 

Kuberanikan diri mendekati pintu. Ingin sekali tahu keadaan wanita yang telah menghadirkanku ke dunia ini. Kubuka perlahan pintu kamar. Kudapati Dia memeluk kaki jenjang Bapak. Ibu bersimpuh. Air mataku kembali tumpah. Kali ini lebih deras. Dengan kasar Bapak menyingkirkan tangan lembut Ibuku. Berlalu pergi membanting pintu dengan keras teriakan Ibu tak pernah bisa menghentikannya. Seketika perasaan benci menguar. Aku masih teramat muda untuk menyaksikan kekejaman seorang manusia, terlebih pelakunya adalah Bapak kandungku. Aku berjanji tidak akan pernah mengingat bahwa aku memiliki seorang Bapak, bagiku dia telah mati. 

Kilasan memori dari potongan kisah masa lalu muncul ke permukaan. Banyak pernyataan sepihak yang akhirnya mulai membuatku memikirkan tentang alasan sebenarnya Bapak meninggalkan kami. Mungkinkah salah satunya adalah karena sifat Ibu yang terlalu banyak bicara. Bahkan untuk masalah sepele pun Ibu tak pernah berhenti mengulang kalimat seraya marah-marah. Bapak. Dimanakah dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Bodohnya aku.

"Rena ayo sini bantuin Ibu! Jangan nonton TV saja!" Oh ibu. Aku baru saja menghenyakkan diri setelah seharian bekerja. Apa boleh buat daripada Ibu semakin mengoceh lebih baik aku turuti saja perintahnya. 

"Ayo kemari Nak! Potong dadu kentang itu. Juga jangan lupa bumbunya dihaluskan. Kamu ini anak gadis. Usiamu sudah layak menikah. Tapi lihat, sampai sekarang tidak satu pun lelaki kamu kenalkan pada Ibumu. Beberapa tawaran datang kamu pun menolak. Apa sih yang kamu mau?" Bahasan yang paling aku benci. Menikah. Moodku hancur apalagi atasanku tadi uring-uringan tidak jelas. Pulang berharap mendapat ketenangan malah sekarang dihadapkan dengan rentetan kalimat Ibu yang beruntun. Duh kenapa tidak Ibu saja yang menikah. 

Aku menumbuk bumbu dengan perasaan kesal yang bertumpuk. Setiap Ibu melontarkan berbagai macam kalimat nasehat yang terus mengingatkanku perihal usia yang tak lagi muda menurutnya. Tidak bagiku yang masih menghendaki kebebasan. Ibu tetap saja bicara. Mungkin
Jika ditulis, akan menjadi satu novel. Sabarku harus lebih besar. Acara memasak bersama yang justru lebih pantas disebut sesi teguran berjam-jam. 

****

Seminggu ini suasana rumah mendadak sepi. Ada perasaan senang tidak ada lagi suara Ibu yang terus memberondong dengan kalimat yang membuat telinga menjadi panas. Ibu menginap di rumah nenek untuk beberapa waktu kedepan karena beliau sedang sakit. Jadilah aku melakukan semua pekerjaan rumah sendirian. Terlihat mudah namun cukup menguras tenaga.

Hari libur aku habiskan waktu berdiam diri di kamar. Sekaligus bisa sejenak fokus pada toko online yang baru saja aku rintis. Tiga jam berlalu tubuhku terasa pegal. Aku baru saja hendak berdiri, kuurungkan karena suara dering telepon genggam. Kepanikan tergambar jelas dari suara diujung sana. Tanganku lemas aku tak pernah setakut ini sebelumnya. Bayangan kehilangan terus mengganggu. Aku bergegas cepat. Air mata siap turun. 

Ibu mengalami kecelakaan. Jantungku berpacu seperti habis lari marathon. Tolong jangan ambil Ibuku. Dalam hati terus kuulang kalimat tersebut. Sepanjang perjalanan aku lebih banyak mengingat kesedihan Ibu selama ini. Ditinggal pergi suami, membesarkan buah hati sendirian, berjuang keras mencari nafkah agar dapur tetap mengepul juga demi aku bisa sekolah tinggi. Semua pekerjaan Ibu lakukan selama halal. Menjadi buruh cuci, tukang masak, tukang sapu bekerja di penjahit, jualan keliling, hingga dua tahun terakhir dan aku juga telah bekerja kami mampu menyewa tempat untuk jualan. Hanya warung nasi sederhana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun