Mohon tunggu...
Isman Sumurubun
Isman Sumurubun Mohon Tunggu... Penulis - Seorang pegiat literasi kopi

Isman Sumurubu - Aku menulis maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Esaiy-Demokrasi Bak Palmers

7 Juni 2017   04:09 Diperbarui: 7 Juni 2017   04:18 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar; Get helpSend feedback-ihik3.com

Literature dalam politik dewasa ini, begitu banyak kita temukan beragam makna politik yang menyempit dan bergeser dari relasi “ikut mengambil peranan”. Ada yang memahami politik sebagai usaha individu atau kelompok. Tentu yang bertujuan memperoleh kekuasaan dan hal-hal lainnya. Yang terkait dengan dalam literatur dewasa ini, kita temukan beragam makna politik yang bertujuan itu. Ada juga yang melihat politik sebagai pembedaan (kawan dan lawan).

Kehidupan bersama yang setara justru dibuyarkan oleh politik dalam pengertian. Ikhtiar untuk hidup setara justru jadi proses memilah-milah masyarakat. Ini merupakan lingkaran setan yang dewasa ini mendominasi kehidupan bersama “satu kelompok dengan lainnya.” Desah kala hari ini bersimbang peluh pupus kembang. melihat mereka yang dulu dipuja, sekarang teraniaya oleh sikapnya. Mereka menempu jalan begitu berat, jalan nan berarus ketidakadilan. Di mana mulut menuntun hasrat menguasai. Mulut pejabat pun tak jeri korupsi, mulut penguasah menindas rakyatnya sendiri. Lima tahu telah berlau, kondisi sosial kian membara para. Ribuan manusia kehilangan tempat tinggal, para petani kehilangan lahan sawahnya, hidup di pengusian, hidup di kolong jembatan dan trotoar.

Dalam kacamata Camus “Semua manusia adalah korban kemalangan.”Artinya keterlibatan pada korban adalah juga keterlibatan pada manusia. Implikasinya, setiap manusia dianjurkan untuk terlibat dengan tindakan konkret; semua manusia mengambil peranan dalam kehidupan bersama. Relasi antara manusia yang mendasari kehidupan bersama diulik kembali. maka diperlukan logika baru yang lebih bisa menjelaskan, putus dengan logika lama. Levinas memutus logika lama dengan mengajukan konsep ‘yang etis’ sebagai pertemuan dengan wajah orang lain yang tidak dapat direduksi kepada pemahaman komprehensif. Betapa kepakan di negeri ini. negeri nan jauh dari kata sejahterah. Pendidikan anak-anak terbengkali, di sana sini berimbas pada kondisi sosial, kehidupan meluncur ke jurang curam. Manusia dihadapan kekuasaan begitu ringkih dan rentan.

Peradaban yang sumir dan berbau anyir. Kekuasaan pada dasar memuliakan manusia, bukan menindas manusia. Para penguasah tak benar-benar belajar arti kemenangan, mereka hanya tahu mereguk nikmat kekuasaan dan membangun surga dunianya sendiri.

Menjadi orang yang baik di neregi khususnya Indonesia. Rakyat yang ditengah masyarakat semakin menggila. Hukum, semakin tak pasti maknanya dan semakin sulit diterjemah artinya. Ada gagasan absurd untuk memperbaiki nama para koruptor. Ada konspirasi, ada pembunuhan, ada pemerkosaan dan ketidakadilan. Tak ada atu sanksipun jatuh pada manusia yang paling bertanggung jawab atasnya. Semuanya berujung nada (tidak ada apa-apa, kosong). Itulah yang terjadi dalam kasus terbunuhnya aktivis HAM. Munir. Ada desa yang tenggelam dan ratusan rakyat sengsara kerena lumpuh. Disini kita akan bertanya; Atas dasar apa negara ini jalankan? Dan bagaimana dengan hukum?

Gambaran kondisi pada zaman kalabendu masih ada pada zaman sekarang atau modren. Para pemimpin hanya berkata ngawur, dan tak bisa di percaya. betapa sulitnya kewarasan harus dijaga. Agar negeri ini kembali mampu mencatat sejarah baiknya. Sebab, sejarah mengajarkan kita bagaimana seharusnya memetik sejatinya kebenaran itulah letak ironinya. Dewasa ini, harimau tak pernah kenyang atas dunia, begitupun manusia yang tak pernah kenyang atas perbuatannya. Harimau tak pernah bisa dirayu seperti ayam. Tak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan untuk meraih kemenangan dan kekuasaan yang lebih tinggi untuk membangun surga dunianya sendiri.

Bukankah kebenaran harus ditegakkan. Kelicikan harus dibinasakan. Cerdik harus dicari jalannya. Membela yang lemah dan menerangi kemungkaran di mana pun kita berada.  Sebab,  jika tidak,  kita akan terkepung oleh peradaban yang bukan milik kita.

Dalam kancah politik, kita seharusnya seperti ikan yang tak pernah asin meski hidup di air garam. Sixtus bergaya pahlawan kesiangan tak lepas berpangku tangan. Berkhutbah tentang moral dan keadilan. Tapi, dengan demikian menghasilkan korupsi dan kemiskinan beraneka rupa. Kata mereka; “kami berjanji berikan bukti bukan janji”. Tetapi, begitu tangisan suara minor dari pelosok negeri, mereka sibuk mencari koalisi bukan solusi.

Apakah demokrasi itu kebenaran sejati yang tak ada keraguan padanya? Demokrasi itu bak "perawan" yang merdeka dan memerdekakan. Watak utama demokrasi adalah "mempersilahkan". Tidak punya konsep menolak, menyingkirkan atau membuang. Semua mahluk penghuni kehidupan berhak hidup bersama "si perawan" yang bernama demokrasi, bahkan berhak memperkosanya; yang melarang memperkosanya bukan si perawan itu sendiri, melainkan "sahabat"nya yang bernama moral dan   hukum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun