Mohon tunggu...
Ismail  M  Sangadji
Ismail M Sangadji Mohon Tunggu... Dosen - DIGITAL

MAJU BERSAMA ILMU DAN KETULUSAN

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Perjalanan Politik Agraria Dari Prakolonial Hingga Reformasi

19 Juli 2018   14:03 Diperbarui: 19 Juli 2018   14:11 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Bicara masalah agraria merupakan sesuatu yang tidak "sederhana" dan bahkan, runyam, rumit dan sukar, begitulah Wiradi (2009) menyebutnya. Bagi Wiradi politik agraria adalah antitesa antara proses politik dan penguasaan sumber daya alam, baik tanah, dan sumber agraria itu sendiri. 

Potret kekuasaan senantiasa menggambarkan bentuk kontestasi yang mempertemukan masyarakat dan negara beserta lingkungannya dengan bermacam relasi dan interalasi yang menempatkan tanah dan kekuasaan sebagai titik permasalahan atau dengan kata lain, tanah dan kekuasaan sebagai objek kontestasi. 

Sejarah mencatat bagaimana titik awal peliknya persoalan politik agraria ketika armada dagang pemerintah Belanda VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) menapak kaki di Indonesia pada tahun 1602 (Fauzi, 1999:17). VOC pada awalnya melirik berbagai hasil sumber daya alam Indonesia yang dibeli secara murah dan penuh ketidakadilan. 

Ambisi VOC terhadap kekayaan sumber daya alam berlanjut dengan menguasai sumber-sumber agraria petani, dengan memanfaatkan hubungan raja--raja dan para petani. Warisan kolonial pemerintahan Hindia-Belanda ini dianggap mewarisi kondisi struktur agraria yang telah mengakar dalam situasi sosio-histori masyarakat Indonesia. Sistem kolonial ini ditandai dengan empat dimensi, dominasi, aksploitatif, diskriminasi dan depedensi (Kartodirjo dan Suryo, 1991 dalam Fauzi, 1999).

Pertautan sejarah dan masa kini menjadi sangatlah penting tentang dinamika politik agraria di Indonesia. Setelah Bangkrutnya VOC dan dibubarkan pada tahun 1799, pemerintahan Hindia-Belanda menerapkan sistem tanam paksa, meskipun sebelum tanam paksa dilakukan, penataan kepemilikan tanah dan pajak sudah terlebih dahulu dilakukan oleh Belanda, tetapi gagal dan dilanjutkan sistem tanam paksa dari tahun 1730 hingga 1780 yang menghidupkan kembali sistem eksploitasi. 

Namun demikian, sistem tanam paksa juga mengalami kegagalan, penderitaan rakyat semakin merajalela. Akhirnya, pemerintahan Belanda menemukan jalan keluar dengan melahirkan Agrarische Wet (Undang -- Undang Agraria) pada tahun 1870 dengan memberikan kesempatan bagi perusahaan -- perusahaan asing menanamkan modalnya di Indonesia. 

Secara ringkas, berbagai bentuk eksploitasi yang dilakukan Belanda tetap saja merugikan rakyat dan petani Indonesia, sehingga diperlakukannya "politik etis" sampai tahun 1942 sehingga Indonesia menjadi negara merdeka pada tahun 1945 (Fauzi, 1999). Maka sebetulnya persoalan agraria dari zaman feodal [kerajaan], kedatangan kolonialisme hingga pasca kolonial [orde lama, orde baru, dan reformasi sangatlah kompleks dengan ketimpangan yang luar biasa.

Menurut Wiradi et al (2009) ada 3 bentuk ketimpangan yang dimunculkan oleh struktur agraria warisan kolonial itu; pertama, ketimpangan dalam hal kepemilikan lahan atau penguasaan tanah oleh swasta asing dan feodal. 

Kedua, ketimpangan dalam hal peruntukkan tanah, misalnya penetapan kawasan hutan -- hutan produksi untuk kepentingan pemerintahan kolonial. Ketiga, ketimpangan yang timbul akibat incompability, yakni penerapan hukum positif di Barat dan kearifan lokal masyarakat adat Indonesia.  

Ketimpangan incompability meenjadi empat pokok utama. Pertama, ketimpangan dalam hal penguasaan sumber -- sumber agraria, kedua, ketidakserasian dalam hal peruntukkan sumber -- sumber agraria khususnya tanah. 

Ketiga, ketidakserasian antara konsepsi dan persepsi mengenai agrarian dan keempat, ketidakserasian antara berbagai produk hukum sebagai dari pembangunan dan kebijakan sektoral (Wiradi, 2009). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun