Mohon tunggu...
Ismail Elfash
Ismail Elfash Mohon Tunggu... wirusaha -

orang biasa yang sedang belajar menulis, mengungkapkan isi hati dan sekedar berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembagian Buku Raport Sekolah Yang Hambar

21 Desember 2011   05:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:57 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Minggu-minggu ini, hampir semua sekolah sedang punya hajat untuk acara pembagian raport. Suatu tonggak tenggang pendidikan satu semester pertanda telah selesai.  Buku raport berisi angka-angka yang merupakan hasil belajar siswa selama satu semester. Ada satu tolok ukur dalam melihat perkembangan pendidikan putra/putri kita yaitu melalui nilai raport. Bagus tidaknya, pintar tidaknya anak kita salah satunya berdasarkan angka-angka yang tetera dalam nilai raport. Sepertinya nilai raport menjadi saksi bisu yang menjelaskan bagaimana proses pendidikan putra/putri kita dalam mengkuti pelajaran. Kita tidak tahu apa yang terjadi selama proses belajar di sekolah, karena kita selaku orang tua tidak nongkrongin selamanya. Tugas guru lah membimbing  di sekolah. Apa bukti laporan guru kepada kita? Ya..buku raport tersebut.

Lain dulu lain sekarang. Sistem pendidikan di Indonesia yang tidak ajeg, meniru dan mencontoh satu sistem pendidikan negara lain an sich, membawa effek dan korban bagi dunia pendidikan. Sistem kurikulum diantaranya. Banyak model kurikulum seperti KBK, KTSP dan lain-lain membawa perubahan dalam rule pendidikan. Salah satu dampak perubahan tersebut yaitu sistem penilaian.

Dulu ketika saya sekolah SD sampai SMA (1986-2008) sistem penilaian berlangsung selama 4 bulan, yang dinamakan catur wulan. Selama satu tahun 3 kali pembagian buku raport. Kini, mulai TK sampai SMA yang berlaku adalah sistem semester seperti di Perguruan Tinggi yang jangka waktunya per enam bulan. Perbedaan yang mencolok antara dulu dan sekarang yaitu dalam masalah grade/rangking. Pembagian raport, saat yang mendebarkan. Ketika diumumkan siapa yang meraih peringkat 1, 2, dan 3 dipanggil naik ke podium untuk diberikan hadiah. Mau tahu apa hadiahnya? Rangking 1 buku tulis leces 4 buah, rangkin 2 buku leces 3 buah, rangkin 3 buku leces 2 buah. Tapi senengnya bukan main. Ada rasa bangga, ada pengakuan, ada pujian dan ada tepuk tangan. Ada siswa yang berlangganan masuk rangking, dapat hadih dari kelas 1 sampai kelas 6 SD. HAl ini jadi motivasi, dan jadi ukuran keberhasilan. Kebanggan ini setidaknya dirasakan juga orang tua yang anaknya jadi juara.

Namun kini, melalui sitem semesteran rangking ini dihilangkan. Salah satu alasannya adalah manusia tidak mungkin menguasai dan jago pada setiap bidang. Jadi dalam sistem rangking, seolah-olah yang rangking 1 menguasai dan jago pada semua bidang pelajaran. Kini tidak ada lagi juara, tidak ada tepuk tangan dan tidak ada hadiah. Semua orang (siswa) adalah jago dalam bidang yang dikuasainya. Seperti binatang, biarlah burung hanya ahli dalam suatu bidang, terbang. Sebaliknya bebek jagonya renang. Kelinci juara lari dan semut ahli manjat. Itulah dalil shohih dalam pendidikan untuk menjelaskan alasan penghilangan rangking. Masuk akan memang, dan semuanya ada alasannya berikut plus minusnya.

Hari ini banyak sekolah (dalam berbagai tingkatan) yang membagikan raport. Saya perhatikan ekspresi dan raut wajah para siswanya. Kesimpulannya hanya satu, datar-datar saja. Nyaris tidak ada harapan dan kebanggaan.  Sepertinya buku raport tidak ubahnya buku pelajaran. Berisi angka-angka dan tulisan yang tidak bermakna dan tidak pengaruh. Belum lagi angka-angka yang dikatrol  guru, karena tidak ingin guru disebut gagal kalau nilai siswanya jelek-jelek. Tidak mau pula guru ambil resiko dimarahin orang tua yang anaknya dapat nilai merah. Bahkan kini hampir tidak pernah mendengar ada siswa yang tingal kelas, bahasa saya dulu ngendog.   Buku raport nilainya tidak ada yang jelek, semua bagus, karena hasil rekayasa guru. Disinilah idealisme guru dilunturkan. Pendidikan bukan lagi kawah candradimuka pembentukan karakter yang baik dan bermoral. Sekolah hanyalah paranata sosial formal yang menjadi area bisnis dagang otak.

Kini ada perubahan nilai dalam pendidikan. Dulu demi rangking siswa semangat, antusias dan berkompetisi. Kini, budaya itu tidak ada. Dalam ulangan pun siswa datar-datar saja, jangankan belajar dan menghapal full, jadwalnya saja tidak tahu. Siswa tidak takut nilainya jelek, tidak takut tinggal kelas dan tidak takut tidak lulus ujian. Sepertinya sudah tahu sama tahu bahwa tidak akan ada angka merah, dan tidak akan ada tidak lulus. Maka dalam pembagian raport bahkan ijazah sekalipun ekspresi siswa hambar dan datar-datar saja.

Alkisah di sebuah negeri antah barantah, presidennya ingin dikenang rakyat karena berhasil meningkatkan dunia pendidikan. Dipanggillah menteri pendidikannya. Dia mengancam kalau ingin dana pendidikan tetap 20% dari APBN maka pendidikan harus berhasil dan semua siswa nilai raportnya harus besar, tidak ada merahnya dan semua peserta ujian lulus. Kalau tidak memenuhi itu, dana pendidikan dikurangi dan menterinya dipecat.

Menterinya jadi bingung. Demi mewujudkan ambisi bosnya, dia memanggil semua gubernur. Diceritakan permasalahannya dan ada konsekwensi bagi daerah yang gagal memajukan bidang pendidikan. Caranya kepala daerah harus memajukan pendidikan, dan semua siswa nilai raportnya harus besar, tidak ada merahnya dan semua peserta ujian lulus. Kalau tidak memenuhi itu, daerah yang anda pimpin akan termasuk kategori gagal, dan dana perimbangan daerah akan dikurangi.

Gubernur jadi pusing. Dia memanggil seluruh bupati dan walikota. Dikumpulkan, diceritakan dan diberi ancaman yang sama. Bupati dan walikota sami mawon jadi bingung setelah mengikuti arahan dan petunjuk gebernur. Dia pulang dan membuatkan memo untuk para kepala dinasnya untuk berkumpul secepatnya, mengingat ada instruksi penting dari atas. Kepala dinas pun berkumpul. Pak Wali Kota menyampaikan hal yang sama dan ancaman yang sama yaitu kalau tidak berhasil dipecat. Para kepala dinas merasakan kebingungan. Dia punya akal, demi mewujudkan petunjuk dari atas. Dia mengumpulkan para kepala sekolah yang ada di daerah tersebut. Diberitahukan permasalahannya dan diakhiri dengan ancaman mutasi atau pemecatan. Akhirnya kepala sekolah mengumpulkan seluruh guru, agar bagaimana caranya  pendidikan harus berhasil dan semua siswa nilai raportnya harus besar, tidak ada merahnya dan semua peserta ujian lulus. Ancamannya sama, kalau tidak berhasil dimutasi atau dipecat.

Guru sebagai pilar terakhir dalam dunia pendidikan, yang telah berusaha sekuat tenaga mendidik siswa, yang ingin siswanya diajari kejujuran, nilai bagus semata-mata karena usaha dan prestasi siswa, yang ingin dunia pendidikan maju tidak terkotori, mengajarkan nilai luhur budi pekerti dan menjelaskan prestasi, sanksi dan nilai moral, yang ingin dunia pendidikan maju karena siswanya layak dibanggakan dan berprestasi,  yang ingin siswanya lulus ujian karena ada usaha siswanya sendiri tanpa campur tangan guru dan tanpa me-mark up nilai dan memanupilasi hasil. Dengan berat hati, karena penuh dengan tekanan dan ancaman akhirnya guru merendahkan harga dirinya dan menghancurkan idealismeya, menjual kejujuran  dengan cara memberi bocoran kepada siswa, memanipulasi nilai ujian, dan meluluskan semua siswanya.

Namun apa yang terjadi. Semuanya hancur, yang sehancur-hancurnya.

Haloo... apa kabar dunia pendidikan kita?

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun