Mohon tunggu...
Ismail Elfash
Ismail Elfash Mohon Tunggu... wirusaha -

orang biasa yang sedang belajar menulis, mengungkapkan isi hati dan sekedar berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kenapa Aku Masih Begini, di Sini?

15 Juni 2013   00:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:00 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup sesekali harus menengok pada masa lalu. Sebab walau bagaimanapun masa kini adalah rangkaian perjalanan yang dimulai pada masa lalu. Dan masa kini, seiring berjalannya waktu akan menjadi masa lalu. Begitu seterusnya berulang.

Masa laluku yang indah, yang paling berkesan adalah saat-saat usia sekolah MAN (setingkat SMA). Aku sekolah sekaligus mondok, di pesantren Darussalam, Ciamis-Jawa Barat. Disinilah pertama kali aku menjauh dari orang tua. Hidup mandiri, belajar nyuci sendiri, yang sebelumnya aku tak pernah dan tak bisa nyuci sendiri. Aku menjalani kehidupan di pondok dengan pasrah, ikhlas dan dibeta-betahin saja. Namun lama-kelamaan menjadi betah beneran, kerasan dan "ogah" pulang.

Disinilah aku mengenal kawan dari berbagai daerah di tanah air. Ada yang dari NTT, Jakarta, Banten, Kalimantan dan daerah-daerah lainnya. Gak aneh, kawan yang dari Ciamis, Tasik, Kuningan, Cirebon, Bandung karena emang berada tidak terlalu jauh dari lokasi Pondokku, sehingga culture dan nature tidak berbeda alias relative sama.

Pesantren Darussalam, adalah pesantren modern yang motonya menjadikan muslim yang moderat, mukmin yang demokrat dan muhsin yang diplomat. Disinilah aku belajar tentang ke-Islaman dengan pemahaman yang moderat, belajar kitab-kitab kuning yang tidak harus tamat dibaca perhalaman, belajar berorganisasi, belajar bahasa Arab-Inggris, belajar kepemimpinan dan belajar banyak hal dari banyak orang dan banyak guru. Aku melakoninya selama 3 tahun dengan penuh kebahagiaan dan sangat terasa betapa disini dapat mengembangkan diri dan potensi diri.

Aku kenal dengan banyak orang. Ada kakak kelas, teman sekelas, tetangga kelas, maupun adik kelas. Aku sekolah di MAN, sementara tetanggaku ada MAKN dan MAKD. Ada juga teman-teman yang lebih kecil, anak-anak MTs, maupun MI, atau ada teman senior yang kuliah di IAID. Jenjang pendidikan di Pesantren Darussalam sangatlah lengkap; dari TK sampai Perguruan Tinggi. Santrinya lebih dari 1000 orang.

Disinilah aku belajar organisasi dan belajar menjadi pemimpin. Aku sempat menjadi ketua PMR pengurus Pondok, pembimbing asrama, dan anggota pramuka. Hal inilah yang membentuk kepribadianku, dan tak akan pernah terlupakan sampai kapanpun. Terima kasih Darusaalamku, nyiur melambai, ranah damai.

Setelah lulus dari MAN Darussalam, aku melanjutkan kuliah ke UIN Jakarta (dulu IAIN). Aku mengambil Fakultas Tarbiyah, jurusan Bahasa Arab. Sebuah pilihan yang harus dibayar mahal, karena jujur, aku tidak suka Bahasa Arab. Tapi entah kenapa aku "terlempar" ke sini. Aku merasa tersesat ke jalan yang benar.

Suka duka kuliah di sini, merupakan babak baru kehidupan di kota metropolitan. Masih teringat dengan jelas ketika Ibu-Bapakku "berantem" gara-gara keinginanku untuk kuliah. Bapakku dengan keras melarang, dengan alasan tidak sanggup membiayainyi. Sementara Ibuku walau berat hati, membolehkannya tapi tersirat kebingungan dari mana biayanya. Di hadapan kedua orang tuaku yang sedang bingung, aku memutuskan untuk kuliah dengan membiayai sendiri. Caranya? Aku akan berdagang di pasar, di sela-sela waktu kuliah kosong.

Di Pasar Kebayoran Lama lah, aku mengadu nasib, membiayai kuliahku. Aku berjualan kaki lima di sini. Atau dikala sepi aku berdagang keliling, pagi-pagi sebelum sholat Subuh ke pasar-pasar sayur di Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Bogor. Disinilah kampusku untuk belajar entrepreneurship, mengubah keadaan dari tidak berdaya menjadi berdaya. 7 tahun lamanya aku mengadu nasib di sini. Walau aku tidak kesampaian menjadi pedagang hebat yang mempunyai banyak toko dan beromzet  jutaan, namun disinilah aku mendapatkan keberanian, pergaulan, jiwa bisnis, watak pengusaha, dan mengasah insting wirausaha.

Hingga akhirnya kuliahpun lulus. Aku bangga menyandang gelar S.Pd.I. Hasil perjuangan dan pengorbanku sangatlah berati. Kini, aku adalah seorang calon guru, syukur-syukur bisa menjadi guru PNS. Karena itulah harapan kedua orang tuaku.

Sesaat setelah lulus kuliah, aku masih berjualan di pasar. Sambil mencari-cari peluang kerja, siapa tahu ada kesempatan yang lebih baik. Ya, akhirnya aku berlabuh di sebuah SD sekitar Bintaro. Namanya SDN Jurangmangu Timur I, Pondok Aren. Aku mengajar di kelas II. Selain sebagai guru SD, aku pun ngajar di kuliahan kelas jauh, hari Sabtu dan Minggu. Dirumah, bersama istri aku mengajarkan ngaji, dan baca tulis pada anak-anak tetangga sekitar. Selain itu aku mengikuti teman, bisnis komputer. Ternyata naluri bisnisku lebih kuat daripada naluri mengajarku. Sering aku lebih mengutamakan bisnis, daripada mengajar. Namun, suatu ketika ketemulah antara naluri bisnis dan mengajarku. Ketika aku mengisi komputer untuk lab sekolahku, aku yang punya dan aku pula yang mengajarnya. Dan, bayarannya lebih besar dari hasil sewa komputer daripada gaji bulanaan mengajar yang hanya Rp 300.000 waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun