Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Baju Baru untuk Aisyah

13 Februari 2021   23:56 Diperbarui: 14 Februari 2021   00:43 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kulo pamit. Titip Aisyah, nggih, Bu," ucapku pada sosok perempuan yang telah berusia setengah abad lebih, beliau adalah ibu kandung mendiang almarhum suamiku."Hati-hati di jalan, Nduk. Jangan lupa jika sudah sampai kota kabari Ibu, ya," pesan beliau dengan suara parau. Aku mengangguk.

Aku hampiri bidadari kecilku, Aisyah,  yang sedari tadi duduk di sofa sambil tangan mungilnya memeluk boneka. Wajahnya sayu, tak ada senyum yang mengembang di bibirnya.

"Aisyah bareng si Mbah, ya, di rumah. Mama mau pergi kerja cari uang buat beli jajannya, Aisyah," bidadari kecilku tetap bergeming. Kupeluk erat badan mungilnya, lama, hingga tanpa terasa netra ini mulai berkaca-kaca. Kulepas perlahan pelukanku.

"Aisyah jangan nakal, ya. Nurut sama Mbah," bisikku pelan sambil beberapa kali kuciumi pipi lembutnya.
"Bulan Lamadhan, Mama, pulang?" Tanya Aisyah.
"Insyaallah, Sayang. Kalau kerjaan Mama sudah selesai pasti Mama pulang," jawabku. Aisyah hanya menunduk. Dari luar rumah terlihat mobil jemputan telah datang. Kuciumi kembali bidadari kecilku berkali-kali sambil kuseka air mata yang mulai tumpah di pipi si kecil Aisyah.

Berat kaki ini melangkah pergi. Namun, bagaimana lagi? Hanya sebait doa dalam hati dan niat Lillah mencari pundi-pundi rezeki untuk biaya hidup keluarga kecil ini. Pintu mobil tertutup, mobil mulai melaju, pelan dan perlahan kecepatan terus bertambah.

Beberapa menit mobil melaju melewati pemakaian umum. Pemakaman desa, di mana diantara gundukan-gundukan pusara di sana terbaring jazad seorang lelaki yang tiga tahun lalu menghembuskan nafas terakhir meninggalkan aku dan putri kecilnya yang baru berumur dua setengah tahun harus hidup tanpa Ayah dan tanpa tulang punggung keluarga.

Aku tak menyalahkan takdir. Kematian bukan tragedi yang harus ditangisi sepanjang hidup ini. Aku harus kuat, aku harus menjadi sosok ibu sekaligus tulang punggung demi asa si kecil, demi cita-cita bidadariku, Aisyah. Ah, memori kenangan ini kini hadir kembali menari-nari. Bagaimana dulu almarhum suamiku terlalu memforsir diri, bekerja tanpa henti saat bulan puasa demi membelikan aku dan si kecil baju baru buat lebaran. Hingga akhirnya suamiku jatuh sakit yang menjadikan sebab ia pulang ke sisi Tuhan.

Bergegas kutampar manis pahit kenangan masa lalu. Mobil telah masuk ke kota tujuanku. Kuturunkan jendela mobil, mataku menatap jauh nun di sana senja begitu indah. Seindah senyum putri kecilku, Aisyah. Aku tersenyum sendiri. Walau hanya libur kerja beberapa hari, setidaknya telah menjadi obat kerinduan kumpul bersama dengan bidadari kecilku. Dan kini hari-hari akan diisi dengan bekerja kembali, semoga sampai bulan puasa pekerjaan selesai agar aku bisa menikmati hari-hari bulan suci Ramadhan dengan si kecil, Aisyah.

Kunikmati setiap abjad demi abjad rangkaian rahasia-Nya dengan sabar dan ikhlas agar catatan lembar kehidupan ini kelak dapat menjadi saksi, hujah dan argumen di hadapan-Nya. Tentang sosok perempuan biasa, merangkak, terluka, dipecundangi dunia, digilas derita demi menyambung cita tanpa sedikit berputus asa.

Hari terus berganti. Tak lupa sebelumnya saat aku sampai kukabari keluarga di desa bahwa aku telah sampai tanpa ada halangan apapun di perjalanan. Waktuku kini sepenuhnya tercurah untuk kerja. Namun, tak lupa di sela-sela kesibukan kusapa keluarga walau sekedar pesan singkat lewat ponsel.

Tak terasa bulan suci Ramadhan telah tiba. Namun, pekerjaan belum juga usai. Aku tahu Aisyah pasti bertanya-tanya Mama kapan pulang? Mama, Aisyah pengin berbuka puasa dengan lauk ini. Mama, Aisyah nanti sahur pakai lauk apa? Mama, Aisyah salat tarawih separuh saja, ya? Mama, Aisyah belum bisa niat puasa. Dan sederet sifat manja bidadari kecilku yang semakin membuatku didera rindu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun