Mohon tunggu...
Mohammad Iskandar Mardani
Mohammad Iskandar Mardani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

mencoba mencurahkan isi pikiran dgn tulisan,,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desa dalam Otonomi dan Dikotomi

7 Juli 2011   14:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:51 3535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13100486731222865825

Sampai detik ini belum ada definisi formal tentang otonomi desa yang dirumuskan dalam Undang Undang (UU). Tetapi dalam kajian akademik, pandangan resmi pejabat maupun ranah advokasi selalu muncul konsep otonomi desa. Bahkan otonomi desa menjadi aktor spesial dan senjata canggih bagi gerakan pembaharuan desa pasca reformasi bahkan menjadi ikon dalam reformasi di bidang pemerintahan khususnya pelayanan public (service delivery). Sejauh wacana yang berkembang setidaknya ada tiga bentuk cara pandang dan pehamanan tentang otonomi desa.

Pertama, cara pandang legal formal yang sering dikemukakan oleh para ahli hukum. Pemahaman tentang otonomi desa dari cara pandang ini bertumpu pada diktum-diktum yang termuat secara baku dalam UU. Dalam UU sering ditemukan diktum “desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri” sebagai definisi standar otonomi desa. Pandangan ini memposisikan desa sebagai subyek hukum yang berhak dan berwenang membuat tindakan hukum, membuat peraturan yang mengikat, menguasai tanah, membuat surat-surat resmi, berhubungan dengan pengadilan, menyelenggarakan kerjasama, dan lain-lain.

Kedua, bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi desa beserta hak asal-usul dan adat-istiadatnya. Artinya negara tidak merusak, melainkan melindungi eksistensi desa. Jika kita belajar pada sejarah, maka sudah seharusnya negara memberikan pengakuan terhadap eksistensi desa, yang umurnya jauh lebih tua ketimbang NKRI.

Ketiga, konsep self-governing community “kesatuan masyarakat hukum”. Self-governing community historikalnya mempunyai tradisi panjang di Eropa maupun di Indonesia. Tradisi ini kembali ke negara-kota (city-states) kuno atau kembali ke badan rapat desa dan gereja. Di negara-negara Eropa dikenal berbagai macam nama self-governing community, mulai dari dewan komunitas di Spanyol,Commune di Italia, Parish di Inggris. Di Indosesia memiliki pula self-governing community ini, seperti Nagari di Sumatera Barat, Lurah di Jawa, Lembang di Tana Toraja, Kuwu di Ciroben dan Kampung di Papua.  Pada prinsipnya self-governing community adalah komunitas lokal beyond the state, yang mengelola hidupnya sendiri dengan menggunakan lembaga lokal. Hanya saja di zaman modern negara-bangsa (nation-states) mengambil posisi dominan dalam sistem politik dan administrasi. Di masa sekarang tradisi self-goverining community tampak tidak menyandarkan pada kumpulan prinsip yang koheren, ia jelasnya adalah sekumpulan praktik yang berbeda dan beragam. Namun, dasar umumnya dapat ditemukan: komunitas lokal secara tradisional memiliki tingkat otonomi dalam pengelolaan urusan lokal. Sebutan “tingkat otonomi” menunjuk pada berbagai macam praktik dan pada sifat relatif independensi lokal (Markku Kiviniemi, 2001).

Keempat, cara pandang romantis-lokalistik. Meski dalam UU tidak ada rumusan tentang otonomi desa, tetapi wacana resmi, pelajaran di sekolah maupun suara lokal sering menegaskan bahwa desa memiliki “otonomi asli” berdasarkan asal-usul dan adat setempat. Banyak guru mengajarkan bahwa otonomi desa adalah “otonomi asli” sedangkan otonomi daerah adalah “otonomi pemberian”. Ada kesan bahwa otonomi asli itu lebih terhormat dan independen daripada status otonomi pemberian. (Sutoro Eko dan Abdul Rozaki, 2005)

Keempat cara pandang tersebut memiliki penekanan masing masing dalam mendeskripsikan substansi dan eksistensi otonomi desa. Cara pandang legal formal membatasi desa sebagai subjek hukum, banyak para politisi, pejabat pemerintah, aktivis maupun akademisi bersandar pada term ini, padahal otonomi desa tidak hanya sekedar berbicara persoalan hubungan hukum, tetapi hubungan antara desa dengan negara. Desa bisa disebut otonom kalau memperoleh pembagian kewenangan dan keuangan dari negara, sehingga desa mempunyai kewenangan untuk mengelola pemerintahan. Penegasan pengakuan Negara pada pemahaman otonomi desa adalah pijakan yang memberikan kejelasan, tetapi bila hanya sekedar pengakuan belumlah cukup. Lebih dari sekedar pengakuan, otonomi desa berarti pembagian kekuasan, kewenangan dan keuangan kepada desa.

Kemudian konsep otonomi asli dalam pandangan romantis-lokalistik justru bisa menjadi jebakan yang mematikan bagi desa, sebab banyak hal yang “asli” milik desa sudah di ambil oleh Negara dan tidak jarang dieksploitasi oleh investor. Bila ditilik dari sisi desentralisasi, otonomi lokal mengharuskan adanya pemberian (atau pembagian) kewenangan dan keuangan dari pemerintah pusat ke daerah bukan pemanfaatan kewenangan yang didistribusikan untuk kepentingan kelompok elit Negara. Di sisi lain cara pandang romantis-lokalistik memahami otonomi desa sebagai kemandirian dengan cara yang keliru. Pada konsep ini kemandirian desa hanya mencakup masalah internal desa, rumah tangga “sendiri”, kemampuan mengelola, membiayai pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dengan bertumpu pada hasil sumberdaya lokal, swadaya dan gotong-royong masyarakat atau bisa digenaralkan dalam Pendapatan Asli Desa (PADes). Kalau bantuan pemerintah lebih besar ketimbang PADes, cara pandang lokalis-romantis menganggap otonomi desa gagal dilaksanakan dan desa tergantung pada supradesa (pemerintah). Kelemahan mendasar konsep ini adalah memandang otonomi desa sebagai kewajiban dan tanggung jawab, bukan sebagai hak. (Wahyudi Kumorotomo, 2009)

Konsep romantis-lokalistik ini sebenarnya diadopsi utuh oleh pemerintah orde baru untuk mempertahankan sentralisme. Pemerintah pada saat itu membuat jebakan eksploitasi terhadap swadaya desa, sehingga tidak memberikan kekuasaan/kewenangan dan sumber daya yang memang menjadi hak desa sebagai wilayah otonom. Bukannya menafikan swadaya masyarakat, swadaya masyarakat berarti solidaritas sosial dan bagian dari modal sosial yang telah lama menjadi penyangga penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) masyarakat desa. Tetapi otonomi (kemandirian desa) lebih dari sekedar swadaya. Kemandirian bukanlah “kesendirian”, dan otonomi desa bukan masalah internal dan otonomi desa tidak bisa lepas dari sistem relasi antara desa dengan supradesa, sebab desa menjadi bagian dari negara yang juga menjalankan sejumlah kewajiban yang dibebankan oleh negara. Karena itu, lebih dari sekadar swadaya, otonomi desa merupakan persoalan pemerataan dan keadilan hubungan antara negara dan desa. Desa, khususnya pemerintah desa, mempunyai hak bila berhadapan dengan negara, sebaliknya mempunyai kewajiban dan tanggungjawab kepada masyarakat di lingkup wilayahnya.

Otonomi desa membutuhkan berbagai prakarsa lokal, gerakan bersama, komitmen politik dan kebijakan pemerintah. Bila berbicara dalam tataran otonomi desa, makna dan formatnya tidak cukup dengan rumusan desa sebagai subyek hukum, sebagai kesatuan masyarakat hukum, pengakuan negara atas eksistensi desa, dan kemandirian masyarakat desa yang ditopang dengan modal sosial (swadaya dan gotong royong). Otonomi desa yang jelas dan ideal adalah menempatkan posisi desa dan menstimulasi kapasitas desa sebagai local self government, yang mempunyai keleluasaan, kekebalan dan kemampuan. Format ini sepadan dengan otonomi daerah yang dibentuk dalam sistem desentralisasi, dengan pembagian kewenangan dan keuangan secara seimbang antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan desa.

majulah desaku......,,,

salam kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun