HASIL desain kamu bagus Wan. Jujur Indri suka. Wawan senang hasil kerjanya menuai pujian rekan sekantor. Sayang pujian itu hanya datang dari Indri, bukan dari Mas Acan atau Mijid.
Mas Acan adalah penanggung jawab perusahaan. Sedangkan Mas Mijid dipercaya sebagai kepala kantor. Kedua orang itu gemar mengkritik hasil kerja Wawan. Sekalipun Wawan mengklaim telah berupaya mengeluarkan seluruh kemampuan.
"Kalau ngikutin emosi gue pasti sudah keluar dari bulan kemarin. Gaji kecil, sering telat, hasil kerja kurang dihargai, " kata Wawan bersungut-sungut.
Indri tersenyum mendengar celoteh Wawan. Dia tidak ingin masuk kedalam konflik antara kantor dan Wawan. Tapi bukan berarti ia tidak berempati pada pria berperawakan tinggi itu.
"Kok kamu cuma tersenyum In, apakah pernyataan Wawan ada yang salah, " tanyanya.
Dua bola mata sipit Indri menatap Wawan, ia berusaha mendalami perasaan getir yang menyelimutinya akhir-akhir ini. Semangat kerja Wawan menurun drastis. Bahkan telah memasuki level terbawah, Â yakni jarang masuk.
Indri merasa aneh kalau kemudian Wawan menuntut penghasilan maksimal dari hasil kerja yang sama sekali jauh tidak maksimal. Wawan tidak pernah ada sewaktu dibutuhkan Mas Acan dan Mas Mijid. Ia hadir ke kantor saat jam orang mulai berbenah untuk pulang.
Pada akhirnya Indri berkata, Â mungkin Mas Acan dan Mas Mijid punya pakem dan standar baku dalam menilai.
"Lagian bukan hanya Wawan yang dievaluasi. Teman-teman lain juga kena evaluasi, " ucapnya.
Lagi asik ngobrol, Wawan dikejutkan nada dering telepon genggam miliknya. Dilayar muncul foto putri kecilnya yang lucu.
"Iya Mah, Â Papah masih di kantor, " kata Wawan kepada Dian, Â istrinya diujung telepon.