Mohon tunggu...
Iskandar Mutalib
Iskandar Mutalib Mohon Tunggu... Penulis - Pewarta

Pengabdi Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ema Baru

5 Desember 2018   08:47 Diperbarui: 5 Desember 2018   09:30 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CUKUP. Kau tak berhak memaki seperti itu. Ingat,  aku bukan kacungmu.  Aku pegawai yang bekerja profesional. Bila kau tak suka hasil kerjaku, pecat aku.

Arman manusia pendiam berubah menjadi singa menakutkan. Membalas kontan makian Ema yang menyakitkan hati.

"Kau memang bos di sini,  bukan berarti dapat menghina, memaki, memandang sebelah mata kepada setiap pegawai di perusahaan ini," tegasnya sambil menunjuk wajah Ema.

Ema diam seribu bahasa.  Kata-kata kasar yang biasa meluncur dengan mudahnya, hari itu tertutup rapat.  Lidahnya kelu, bibir tebalnya mengering,  wajahnya merah merona.  Dia malu, bahkan sangat malu.

Arman belum selesai. Dia mengambil kertas yang baru saja dipresentasikan dihadapan Ema dan beberapa kolega. Proposal rencana pembangunan mal di area Bandara Sukabumi itu dirobek hingga potongan terkecil.

Arman tak lagi bisa meredam amarahnya.  Dia tak terima, proposal yang dibuatnya bersama tim diolok-olok. Dikatakan sebagai sampah. Padahal,  pembuatan proposal menghabiskan waktu panjang. Menguras pundi-pundi keuangan kantor serta tenaga.

"Kami membuat proposal ini enam bulan lamanya.  Kamu bilang proposal sampah. Yang sampah itu mulutmu, " teriak Arman.

Lelaki berperawakan tinggi itu membalikan badan dan keluar dari ruang rapat.  Dia sempat membanting pintu sangat keras. Ema kaget tapi tidak dapat berbicara satu kata pun.

Tak ingin lama-lama di ruang rapat,  bos yang terkenal bengis tapi cantik itu langsung membubarkan pertemuan. Ia memilih mendekam seharian di ruangannya.  
Tak enak makan,  tak enak kerja, malas bertemu klain. Semua semangatnya runtuh dalam seketika. Ema seperti kehabisan energi.  Tak mengerti kenapa manusia pendiam seperti Arman bisa sangat marah.  Sampai akhirnya dia tertidur lelap.

Jam menunjukan pukul 20.00 WIB, Ema baru saja terbangun. Diambilnya segelas air putih di atas meja.  Di minumnya hingga tandas.  

Matanya memandang ke jendela. Ia melihat Sekretarisnya Noni masih berkutat di depan layar komputer. Dia berjalan pelan menuju pintu yang membatasi ruang dirinya dengan Noni.

Suara pintu dibuka mengejutkan Noni,  ia sigap berdiri. Wajahnya tegang menunggu perintah.  Tak ada ucapan selamat malam dari mulut Noni.  Padahal,  Ema sangat mengharapkannya hari ini. Hari tersuram dalam hidupnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun