Mohon tunggu...
Iskandar Dzulqornain
Iskandar Dzulqornain Mohon Tunggu... -

Alumni IAIN Sunan Ampel

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Benarkah Pendidikan Sebagai Pemutus Rantai Kemiskinan?

28 Juni 2011   10:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Orang miskin dilarang sekolah. inilah jargon kritik atas tingginya biaya pendidikan di negeri ini. Tak pelak banyak anak putus sekolah. Sementara sekolah negeri tidak banyak menampung jumlah lulusan. Itupun masih harus diseleksi dari nilai ujian nasional/akhir.

Bagi peserta didik dari keluarga miskin dengan nilai dibawah rata rata akan sulit untuk bisa lolos seleksi masuk sekolah negeri. Sedangkan untuk masuk ke sekolah swasta, mereka harus mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit.

Kalau kita amati, sekolah sekolah negeri yang tergolong favorit didominasi oleh peserta didik dari jenjang sekolah sebelumnya yang juga tergolong favorit dan dari keluarga yang juga tergolong 'favorit'. Sementara sekolah sekolah negeri yang tergolong biasa biasa saja didominasi oleh peserta didik dari jenjang sekolah sebelumnya yang juga tergolong biasa saja dan dari keluarga yang biasa saja.

Mata rantai tersebut seolah kodrati. Keluarga yang biasa saja mesti sekolah ke sekolah yang biasa saja. Sementara keluarga kaya akan sekolah ke sekolah yang favorit. Inilah mata rantai dari sistem seleksi masuk sekolah negeri dengan hasil nilai ujian akhir (un).

Betapa tidak, bagi peserta didik yang dari keluarga kaya, mereka akan dipersiapkan untuk menghadapi ujian nasional/akhir dengan mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah.

Sementara bagi peserta didik dari keluarga miskin, jangankan untuk mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah, untuk memenuhi kebutuhan sehari hari saja masih pas pasan bahkan kurang.

Tentu, hasil ujian nasional/akhir dengan nilai diatas rata rata akan didominasi oleh mereka yang mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah. Bagaimana tidak, mereka lebih siap menyelesaikan soal soal dibanding mereka yang tidak mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah.

Seakan menampik jargon tersebut, pada PPDB 2011 (penerimaan peserta didik baru) di Surabaya dicanangkan program 5 persen dari pagu tiap sekolah negeri (smp/sma/smk) untuk peserta didik kurang mampu. Namanya jalur mitra sekolah kurang mampu.

Pagu mitra sekolah kurang mampu SMK sejumlah 285; pagu mitra sekolah kurang mampu SMA berjumlah 225; pagu mitra sekolah kurang mampu SMP berjumlah 596. Sementara itu seleksi atas peserta didik kurang mampu dinilai dari kepemilikan kartu keluarga miskin (gakin); surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari kelurahan; jarak domisili ke sekolah yang dituju. Seleksi dilakukan oleh masing masing sekolah.

Namun lagi lagi ada isu miring, bakal terjadi penyelewengan penyelewengan yang megakibatkan program itu tak tepat sasaran. Belum lagi bahwa 5 persen itu belum mampu menampung semua calon peserta didik dari keluarga miskin.

Bila demikian, bahwa pendidikan sebagai pemutus mata rantai kemiskinan sepertinya masih isapan jempol belaka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun