Apakah populisme selalu menjadi momok dalam kebijakan ekonomi? Apakah negara yang hadir memberi subsidi otomatis dicap sebagai rezim oportunis yang membeli dukungan rakyat? Pertanyaan ini layak diajukan saat pemerintah Indonesia, pada 5 Juni 2025, resmi menggulirkan stimulus ekonomi senilai Rp24,44 triliun. Bentuknya variatif: diskon tarif transportasi dan tol, bantuan sosial dan pangan, subsidi upah, serta potongan iuran jaminan kehilangan kerja. Presiden Prabowo tampaknya ingin menegaskan posisi negara sebagai pelindung kesejahteraan masyarakat.
Namun, dalam konteks hukum dan kebijakan publik, pendekatan semacam ini tak bisa dibaca secara sempit sebagai manuver populis belaka. Seperti yang dikemukakan Urbinati (2019), populisme dalam pengertian teoritis adalah gaya politik yang menempatkan rakyat sebagai satu-satunya sumber legitimasi, kadang dengan cara yang bertentangan dengan prosedur deliberatif demokrasi liberal. Tetapi populisme sosial---berbeda dari populisme retoris---dapat dilihat sebagai respons negara terhadap kegagalan sistemik dalam mendistribusikan manfaat pembangunan.
Gagasan ini bersinggungan dengan teori redistributive justice sebagaimana dijelaskan Lamont (2017), bahwa distribusi sumber daya oleh negara harus diarahkan untuk memperkuat kohesi sosial, bukan sekadar mengejar efisiensi. Bahkan, Gidron dan Hall (2020) menyebutkan bahwa populisme bisa muncul sebagai gejala dari gagalnya integrasi sosial dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi antara kelompok "somewhere" dan "anywhere" (Goodhart, 2017).
Dari sudut pandang ekonomi kesejahteraan (welfare economics), kebijakan seperti stimulus ini memiliki legitimasi kuat. Feldman (2008) menegaskan bahwa peran pemerintah dalam ekonomi adalah memperbaiki kegagalan pasar, mengoreksi distribusi, dan memaksimalkan kesejahteraan sosial. Dalam konteks Indonesia yang tengah menghadapi pelemahan konsumsi, tindakan ini bukan hanya legal, tapi juga etis dan perlu.
Sen dan Dreze (1999) dalam kerangka capability approach menyebut pentingnya peran negara dalam menciptakan kondisi agar warga memiliki kemampuan riil untuk memilih dan menjalani kehidupan yang mereka nilai berharga. Dalam konteks ini, bantuan pangan atau subsidi transportasi bukanlah tindakan pasif, melainkan bentuk aktif dari intervensi negara dalam menciptakan keadilan substantif.
Namun, bagaimana negara lain menangani hal serupa? Singapura, misalnya, dikenal dengan pendekatan fiskal disiplin dan presisi data. Menurut Sugimoto dan Tan (2011), serta Robinson dan Jiun (2003), pemerintah Singapura menjalankan kebijakan fiskal secara hati-hati melalui program seperti GST Vouchers, yang sangat selektif dan berbasis data digitalisasi. Meski efisien, pendekatan ini kadang terlalu teknokratis, dengan kecenderungan mengecualikan kelompok pekerja informal.
Malaysia mengambil pendekatan yang lebih luas. Program Bantuan Tunai Rahmah, sebagaimana dijelaskan Madjid et al. (2024), menunjukkan orientasi yang lebih inklusif, namun masih terkendala integrasi data kependudukan dan koordinasi antarlembaga. Tan et al. (2020) menunjukkan bahwa kebijakan fiskal Malaysia berkontribusi positif terhadap pertumbuhan, tetapi kelemahan administratif masih menghambat efektivitasnya.
Brasil menunjukkan sisi lain dari spektrum. Dalam penelitian Holland et al. (2020), program Bolsa Famlia dinilai berhasil mengurangi kemiskinan ekstrem, namun Girn dan Correa (2021) memperingatkan bahwa stimulus fiskal yang berlebihan tanpa basis fiskal yang kuat dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan jangka panjang. Bahkan Kriesi (2014) menyebut bahwa populisme fiskal di Amerika Latin sering kali tidak berkelanjutan karena dikembangkan tanpa reformasi struktural.
Apa yang bisa Indonesia pelajari? Pertama, sebagaimana dikemukakan oleh Adiyanta (2018, 2020), kebijakan fiskal Indonesia harus tetap fleksibel namun akuntabel. Penghapusan sanksi perpajakan atau subsidi seharusnya disertai reformasi administrasi perpajakan agar tidak membebani APBN dalam jangka panjang. Kedua, integrasi data sosial menjadi fondasi untuk mengefektifkan stimulus dan mencegah tumpang tindih kebijakan.
Dalam konteks hukum, intervensi negara ini dapat dibenarkan berdasarkan prinsip salus populi suprema lex esto---kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi. Mahtum (2018) dan Sholihuddin (2011) menegaskan bahwa negara, baik dalam ekonomi konvensional maupun perspektif Islam, tidak boleh pasif terhadap ketimpangan yang membesar.
Sistesis dari berbagai kasus internasional ini menunjukkan bahwa populisme sosial, jika dikelola dengan kerangka hukum dan data yang memadai, bisa menjadi pijakan awal menuju perlindungan sosial yang berkelanjutan. Seperti yang diingatkan Moffitt dan Tormey (2014), yang penting bukan hanya substansi kebijakan, tetapi gaya dan cara negara berkomunikasi serta mengeksekusi kebijakan tersebut.
Indonesia tak bisa hanya meniru, tetapi harus meramu. Populisme sosial ala Prabowo bisa menjadi momentum transformatif, asalkan tidak berhenti pada pencitraan. Ia harus menjadi jalan menuju pembangunan sistem perlindungan sosial yang menyatu antara hukum, ekonomi, dan keadilan.
Daftar Pustaka
Adiyanta, F. C. S. (2018). Kebijakan penghapusan sanksi administrasi perpajakan sebagai stimulus peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak (Studi evaluatif normatif kebijakan perpajakan nasional). Administrative Law and Governance Journal, 1(2), 165--181.
Adiyanta, F. C. S. (2020). Fleksibilitas pajak sebagai instrumen kebijaksanaan fiskal untuk mengantisipasi krisis ekonomi sebagai akibat dampak pandemi covid-19. Administrative Law and Governance Journal, 3(1), 162--181.
Berman, S., & Snegovaya, M. (2019). Populism and the decline of social democracy. Journal of Democracy, 30(3), 5--19.
Feldman, A. M. (2008). Welfare economics. In The New Palgrave Dictionary of Economics (pp. 1--14). Palgrave Macmillan.
Gidron, N., & Hall, P. A. (2020). Populism as a problem of social integration. Comparative Political Studies, 53(7), 1027--1059.
Girn, A., & Correa, E. (2021). Fiscal stimulus, fiscal policies, and financial instability. Journal of Economic Issues, 55(2), 552--558.
dhart, D. (2017). The road to somewhere: The populist revolt and the future of politics. Oxford University Press.
Holland, M., Maral, E., & Prince, D. D. (2020). Is fiscal policy effective in Brazil? An empirical analysis. The Quarterly Review of Economics and Finance, 75, 40--52.
Jasso, G., Trnblom, K. Y., & Sabbagh, C. (2016). Distributive justice. In Handbook of Social Justice Theory and Research (pp. 201--218). Springer.
Kriesi, H. (2014). The populist challenge. West European Politics, 37(2), 361--378.
Lamont, J. (Ed.). (2017). Distributive justice. Routledge.
Mahtum, A. (2018). Intervensi negara dalam ekonomi. ADILLA: Jurnal Ilmiah Ekonomi Syari'ah, 1(1), 43--59.
Madjid, R. A., Shaddad, D. B., & Ibrahim, T. (2024). Fiscal policy of the Malaysian government in facing the economic crisis. HUMANIST: As'adiyah International Journal of Humanities and Education, 1(2), 53--61.
Moffitt, B., & Tormey, S. (2014). Rethinking populism: Politics, mediatisation and political style. Political Studies, 62(2), 381--397.
Rawls, J. (1991). Justice as fairness: Political not metaphysical. In Equality and Liberty: Analyzing Rawls and Nozick (pp. 145--173). Palgrave Macmillan.
Robinson, E., & Jiun, A. P. S. (2003). Assessing the fiscal policy stance in Singapore. Participants in the meeting.
Sen, A., & Dreze, J. (1999). The Amartya Sen and Jean Drze Omnibus: (comprising) Poverty and famines; Hunger and public action; and India: Economic development and social opportunity. OUP Catalogue.
Sholihuddin, M. (2011). Kebebasan pasar dan intervensi negara dalam perspektif ekonomi Islam. Maliyah: Jurnal Hukum Bisnis Islam, 1(1).
Sugimoto, I., & Tan, E. C. (2011). Government fiscal behavior and economic growth of Singapore in the twentieth century. The Singapore Economic Review, 56(01), 19--40.
Tan, C. T., Mohamed, A., Habibullah, M. S., & Chin, L. (2020). The impacts of monetary and fiscal policies on economic growth in Malaysia, Singapore and Thailand. South Asian Journal of Macroeconomics and Public Finance, 9(1), 114--130.
Urbinati, N. (2019). Political theory of populism. Annual Review of Political Science, 22(1), 111--127.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI